Rabu, 17 Oktober 2018

Sejarah Resolusi Jihad NU

Teks Resolusi Jihad NU tulisan Pegon
Itu Kantor HBNO /PBNU Pertama di Bubutan Surabaya
HBNO (Hoof Bestur Nahdatul Ulama) /Kantor PBNU pertama . Sekarang jd PCNU Kota Surabaya
Sekalian Tapak Tilas berdirinya NAHDLOTUL OELAMA

Makam termasuk seorang tokoh Pendiri NAHDLOTUL OELAMA. KH Hasan Gipo Pendana NU berdiri serta Komite Hijaz. Tanfiz/Presiden HBNO pertama 1 - 3 di wilayah masjid Masjid Agung Sunan Ampel
Dekat Maqbaroh Mbah Sholeh /Songo Belakang Masjid Agung Ampel Denta Surabaya

Sejarah yang di terlupakan atau SENGAJA di lupakan??


Indonesia merdeka tanggal 17 agustus 1945, namun belum genap 1 bulan usia kemerdekaan, Indonesia langsung mendapat ujian yg berat. Tentara sekutu yang membonceng tentara Belanda mendarat di jakarta dan kota-kota besar lainya di Indonesia.

Bung Karno dan Bung Hatta berupaya melakukan upaya DIPLOMATIK untuk mendorong tentara sekutu bekerja profesional hanya mengurus tahanan saja dan tidak mengutak ngatik Status kemerdekaan Indonesia, namun upaya itu tidak membuahkan hasil.
Bung Karno galau saat itu, beliau menganalisa bila sampai terjadi peperangan secara Sistematis, Indonesia pasti tidak akan bisa mengalahkan tentara sekutu, karena persenjataan mereka jauh lebih lengkap dan keahlian militernya lebih memadai.

Atas saran dari Panglima Besar Jenderal SUDIRMAN, Bung Karno di minta untuk mengirim utusan Khusus kepada Roisul akbar Nadhatul 'Ulama
(Ketua Umum NU) yaitu Hadrotus Syaikh K.H. Hasyim Asy'ari di Pondok Pesantren Tebu ireng Jombang.

TUJUANYA untuk meminta FATWA kepada Kyai Hasyim tentang bagaimana Hukumnya BERJIHAD membela negara yang notabene bukan negara islam seperti Indonesia.

Kyai Hasyim lantas memanggil
K.H. Wahab Hasbullah dari Tambak Beras Jombang. Kyai Wahab di minta untuk mengumpulkan para Ketua NU se Jawa-Madura untuk membahas persoalan ini, bukan hanya itu saja, mbah Kyai Hasyim juga meminta kepada para Kyai-Kyai Khos (utama) NU, untuk melakukan Sholat istiqoroh, salah satunya adalah mbah Kyai Abbas dari Pon-Pes Buntet Cirebon Jawa Barat.

22 oktober 1945 seluruh Delegasi NU Sejawa & Madura telah berkumpul di Kantor Pusat Ansor di Jl. Pungutan surabaya.
Kyai Hasyim langsung memimpin pertemuan tersebut dan kemudian di lanjutkan oleh Kyai Wahab. Setelah berdiskusi yang cukup panjang dan mendengarkan hasil istikhoroh para kiyai utama NU, pada esok siangnya tanggal 22 oktober 1945 pertemuan menghasilkan 3 rumusan penting yang kemudian di kenal dengan istilah RESOLUSI JIHAD NU

Isinya :
Pertama
SETIAP MUSLIM , TUA, MUDA DAN MISKIN SEKALIPUN WAJIB MEMERANGI ORANG KAFIR YANG MERINTANGI KEMERDEKAAN INDONESIA.
Ke-dua
PEJUANG YANG MATI DALAM PERANG KEMERDEKAAN LAYAK DIANGGAP SYUHADA' (mati syahid).
Ke-tiga
WARGA YANG MEMIHAK KEPADA BELANDA DIANGAP MEMECAH BELAH KESATUAN DAN PERSATUAN OLEH KARENA ITU HARUS DI HUKUM MATI.

Dokumen Resolusi JIHAD di tulis dalam huruf ARAB-JAWA atau di sebut huruf PEGON, yang di tandatangi oleh K.H Hasyim Asy'ari, lalu di sebarluaskan keseluruh jaringan pesantren, tak terkecuali kepada para Komandan LASKAR HIZBULLAH & SABILILLAH di seluruh penjuru Jawa dan Madura.
Dokument Resolusi Jihad juga di muat dalam sejumlah media masa pergerakan pada masa itu, hanya berselang 3 hari pasca RESOLUSI JIHAD di cetuskan, 6.000 tentara sekutu mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dengan persenjataan lengkap.
Mendengar kedatangan pasukan PENJAJAH, RIBUAN SANTRI, MUJAHIDIN & PARA KIYAI Sejawa Timur bergerak menuju SURABAYA dan situasi pun terus memanas dan cenderung tidak terkendali.
RESOLUSI JIHAD NU telah memompa semangat PERALAWANAN RAKYAT dan MEMICU TERJADINYA PERTEMPURAN HEBAT selama 3 hari 3 malam di Surabaya, tanggal 27 sampai tanggal 29 oktober 1945. Tentara Inggris KEWALAHAN menghadapi perlawanan RAKYAT JAWA TIMUR.

Inggris lantas mendatangkan SOEKARNO ke Surabaya untuk di ajak berunding melakukan gencatan senjata. Pagi hari tanggal 30 oktober gencatan senjata di tandatangani pemerintah INDONESIA dan INGGRIS, namun pada sore harinya terjadi insiden di jembatan merah yang menewaskan orang no.1 tentara inggris di surabaya yaitu JENDRAL MALLABI, gencatan senjatapun langsung berakhir.

Pengganti Jenderal Mallabi yaitu Jendral ROBERT MANSION mengultimatum laskar pejuang dan tentara Indonesia agar menyerahkan senjata kepada inggris paling lambat 10 november 1945, jika TIDAK inggris mengancam akan membumi hanguskan SURABAYA dan MEMBOMBARDIR Surabaya dari 3 arah sekaligus LAUT, DARAT dan UDARA.

Mendengar ancaman itu, para komandan LASKAR HIZBULLOH, SABILILLAH, MUJAHIDIN, TKR dan PARA SANTRI marah besar.
seorang pemuda bernama Soetomo atau yang lebih akrab di panggil BUNG TOMO, sowan kepada Kiyai Hasyim, meminta izin untuk menyebarluaskan RESOLUSI JIHAD MELALUI RADIO. Pada Pidato Bung Tomo.

K.H. ahmad Muchid Muzadi (Pemuda Anshor 1945 dari Jember Jawa Timur) Mengatakan : " Hai.. Tentara inggris, ayo kita berperang, kita ini tidak takut, kalau mati kita syahid, kalau hidup kita akan menjadi bangsa yang merdeka ".
" Indonesia itu merdeka bukan dengan teriakan _Haleluya_ akan tetapi dengan Teriakan dan Pekikan Takbir.. Allohu Akbar.. Allohu Akbar.. Allohu Akbar.. "

Pasukan terdepan yang bertempur di Surabaya adalah :

(1). Laskar Hizbullah yang di pimpin oleh K.H. Zainal Arifin, dari Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Wafat di Jakarta.

(2). Laskar Sabilillah yang di pimpin oleh K.H. Masykur, dari Pon-Pes Mishbahul Wathon (Pelita Tanah Air) Singosari Malang Jawa Timur.

(3). Barisan Mujahidin Indonesia yang di pimpin oleh
K.H. Wahab Hasbullah Pon-Pes Tambak beras Jombang Jawa Timur.

(4). PETA Sebagian besar Batalionnya di pimpin oleh Para Kyai NU.

(5). Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

!!!!!!
Resolusi Jihad NU (Sejarah yang terlupakan) Cukup di sayangkan, karena Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 Tidak tercatat dalam Sejarah Resmi Indonesia. Ada upaya untuk menghilangkan jejak peran para Santri dan Kyai dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hal itu di duga terkait dengan kebijakan Rasionalisasi, Nasionalisasi dan Modernisasi TKR, yang mengakibatkan para Milisi terdepak dari TKR. Walau sedikit kecewa pada pemerintah saat itu, tapi para pejuang NU tetap sadar bahwa mereka berjuang bukan untuk pemerintah, tapi membela negara dan tanah air, mereka tetap setia dengan Resolusi Jihad dan tetap selalu menjaga serta membela NKRI.

Mereka tidak pernah berfikir untuk melawan pada pemerintah yang sah, apalagi memberontak dan KUDETA. Bahkan mereka berperang lagi menghadapi Agresi Militer Belanda tahun 1947-1948.

Semoga yang gugur membela NKRI menjadi Syuhadak ...Aamiin


Keberanian dan Komando Para Kiai

Resolusi Jihad
Tak Tercatat Sejarah, Kemenangan Indonesia Karena Keberanian dan Komando Para Kiai
Hubbul wathan minal iman, cinta tanah air adalah sebagian dari iman, dipahami betul oleh para kiai pesantren saat mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Apapun akan mereka lakukan untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut. Meski harus mengkorbankan nyawa sekalipun.
Titik tolak perjuangan para kiai - tentu, beserta santri-santrinya - berangkat dari fatwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh PBNU. Pada 21-22 Oktober, NU mengumpulkan semua kiai dan konsul NU se-Jawa Madura untuk memusyawarahkan tentang sikap yang akan diambil terkait masuknya kembali pasukan Belanda dan sekutu ke Indonesia. Dari pertemuan tersebut, KH. Hasyim Asyari mengeluarkan fatwa fardlu ain bagi umat Islam untuk memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia.
Sontak saja, Resolusi Jihad tersebut segera disambut angkat senjata oleh segenap warga nahdliyin, baik kiai, santri maupun simpatisannya. Tak terkecuali di Banyuwangi. Menyambut seruan tersebut, para kiai kembali mengorganisir para laskar, baik yang tergabung dalam pasukan Hisbullah, Sabilillah, maupun laskar-laskar lokal lainnya.
Di Banyuwangi Kota muncul beberapa nama Kiai yang terlibat dalam mengorganisir massa untuk menghadapi gempuran NICA, baik di pertempuran 10 November di Surabaya maupun pertempuran-pertempuran lain di Banyuwangi. Nama Kiai Saleh Lateng terdengar nyaring dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Selain melakukan tirakat (riyadlah) demi mewujudkan kemerdekaan bangsa, Kiai Saleh menjadi tempat jujukan para santri dan pejuang lainnya untuk meminta nasehat dan doa. Kiai Saleh juga mengirimkan para santrinya untuk ikut perang di Surabaya. Bahkan, pada peperangan yang kelak dikenal sebagai hari pahlawan tersebut, beliau tampak ikut bertempur di medan laga.

Kiai Syamsuri Singonegaran dan Kiai Abdul Wahab Penataban juga merupakan punggawa pasukan Sabilillah Banyuwangi. Kedua orang tersebut merupakan sahabat karib dan seperjuangan Kiai Saleh. Masjid Riyadus Sholihin Singonegaran yang didirikan oleh Kiai Syamsuri kerap menjadi jujukan para laskar Hisbullah. Konon, ada beberapa anggota laskar yang terluka dan dibawa kesana, lalu akhirnya meninggal dan dimakamkan tak jauh dari sana.
Sedangkan Kiai Wahab sendiri memiliki kemampuan kanuragan yang luar biasa. Bom-bom yang berjatuhan dari pesawat tempur Belanda, tak satu pun yang meledak. Mungkin hal ini terdengar mustahil, namun hal ini nyata adanya. Surat kabar "Kedaulatan Rakjat" tertanggal 26-11-1945, mengkonfirmasi hal tersebut.
"Kesaktian kijai2 di medan pertempoeran, ternyata boekan hanja berita lagi, tapi kita saksikan sendiri. Banjak mortier jang melempem, bom tidak meledak dsbnja lagi."
Selain nama-nama di atas, juga muncul seorang kiai muda asal Tukangkayu, Kiai Harun. Pendiri PP Darunnajah yang juga menjadi ketua cabang NU Banyuwangi ini menjadi semacam kordinator penggerak santri dan laskar ke medan tempur. Pesantrennya yang tak jauh dari stasiun Banyuwangi Lama (Pasar Karangrejo) menjadi meeting point sebelum berangkat ke Surabaya. Konon, ada dua rombongan dari Banyuwangi, ada yang turun di stasiun Gedangan, Surabaya lalu langsung terlibat pertempuran. Ada pula yang menuju ke Parakan terlebih dahulu untuk memohon barakah bambu runcing ke Kiai Subkhi.

Geser ke Selatan, ada nama Kiai Abdullah Faqih di Cemoro, Songgon. Sebagai salah satu kiai sepuh, Kiai Faqih juga menjadi bagian dari pasukan Sabilillah yang bagian mendoakan dan berperang dengan mendayagunakan kekuatan spritualnya. Kisah yang beredar turun temurun, Kiai Faqih memimpin beberapa peperangan di Banyuwangi, baik perang Bedewang maupub perang Laban hanya dengan memendam dirinya disebuah bukit di desa Parangharjo, Songgon.
Tak hanya Kiai Faqih, putra-putra dan para santrinya pun ikut serta dalam pertempuran. Dengan nama Laskar Santri Cemoro dibawah pimpinan Gus Sholeh dan Gus Idris, segenap jiwa raga mereka persembahkan untuk ibu pertiwi Indonesia. Bahkan, Gus Idris syahid di tengah medan tempur.
Di Srono adapula kiai kharismatik yang menggerakkan masyarakat dan santrinya untuk berjuang. Kiai Dimyati Syafi'i namanya. Rois Syuriah NU Blambangan ini tanpa ragu memfatwakan warga nahdliyin untuk ikut berjihad sebagaimana instruksi dari PBNU kala itu. Tak ayal, ketika perjuangan beliau terendus Belanda, seketika langsung dibumi hanguskan pesantrennya, PP. Nahdlatut Thullab, Kepundungan, Srono.
Tak jauh dari Srono, di Muncar muncul dua kiai pejuang asal satu desa yang sama, Sumberberas. Yaitu duet Kiai Askandar (Mambaul Ulum) dan Kiai Abdul Manan (Minhajut Thullab). Waktu pengepungan Belanda ke pesantren, Kiai Abdul Manan berhasil lolos dengan bersembunyi di rumah salah satu warga.

Beranjak ke daerah Pesanggaran juga muncul nama Kiai Muhammad dan Kiai Musaddad yang memimpin Front Kayangan Alaspurwo dan Sukomade. Di pasukan yang senantiasa bergerilya inilah, Kiai Mukhtar Syafaat (PP. Darussalam, Blokagung) muda ikut bergabung.
Di sisi barat Banyuwangi, muncul nama Kiai Junaidi Genteng. Pengasuh PP. Bustanul Makmur ini kerap kali mengajak para santrinya untuk bergerilya. Atas perjuangannya inilah, kerap pula pasukan Belanda melakukan razia.
Tak jauh dari situ, ada pula kiai sepuh yang juga menjadi jujukan para santri dan pejuang untuk memohon doa dan karomah. Kiai Abbas Hasan, Sempu namanya. Mortir-mortir Belanda yang dijatuhkan di pesantrennya - PP. Al-Azhar - tak ada yang meledak. Meleset dan melempem semua.
Di Kalibaru, juga muncul kiai muda yang tergabung dalam laskar Hisbullah, Kiai Abdul Latif Syuja. Tak hanya didaerah Banyuwangi, Kiai Abdul Latif bergerak pula hingga ke wilayah Keresidenan Basuki lainnya. Saat itu, dibawah komando KHR. As'ad Syamsul Arifin, Situbondo.
Selain nama-nama di atas, juga masih banyak kiai-kiai lain yang ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia di ujung timur pulau Jawa. Mereka berjuang tanpa pamrih. Semata-mata untuk mengharap ridlo Allah dalam menegakkan Agama dan sejahteranya tanah air. Hanya dengan pekik "Allahu Akbar" dan "Indonesia Merdeka" mereka berjuang hingga titik darah penghabisan.
Sebagai generasi penerus, hanya doa dan segenap usaha mengisi kemerdekaan ini yang bisa kami persembahkan untuk para pejuang. Teruntuk semua pejuang, Alfatihah....!!!

Sumber:
Abdul Manan Syah, "Biografi Kiai Saleh Lateng"
Ahmad Mansur Suryanegara, "Api Sejarah 2"
Zainul Milal Bizawie, "Masterpiece Islam Nusantara" dan "Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad"
Dan wawancara dengan beberapa keluarga dari nama-nama tokoh yang disebut.
Foto: Kiai Abdul Wahab Penataban yang telah mengalami editing dari versi aslinya.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar