Senin, 15 Oktober 2018

SEDEKAH LAUT atau SEDEKAH BUMI

Bagi yang yang pernah ikut acara sedekah laut /bumi (tidak sekedar nonton ya), acara ini selalu diawali dgn doa.

URUTAN BACAAN SEDEKAH LAUT/BUMI (NYADRAN)
Bacaan pertama
Taawudz
Lafadz ta'awuz :

 أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

(“A’udzu billahi minasy syaithonir rojiim (artinya: aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk)”.

Bacaan kedua
Basmalah

بسم الله الرحمن الرحيم

"Bismi-llāhi ar-raḥmāni ar-raḥīm".
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang"

Bacaan ketiga
Hamdalah

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِين ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيم مَـٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّين إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan;

Bacaan keempat
Sholawat

اللهم صل علی سيدنا محمد وعلی ال سيدنا محمد

گما صليت علی سيدنا إبراهيم وعلی ال سيدنا إبراهيم

وبارك علی سيدنا محمد وعلی ال سيدنا محمد

گما بارکت علی سيدنا إبراهيم وعلی ال سيدنا إبراهيم

فی العالمين إنك حميد مجيد


Allâhumma sholli ‘alâ Sayyidinâ Muhammadin wa ‘alâ âli Sayyidinâ Muhammadin kamâ shollaita ‘alâ Sayyidinâ Ibrôhîma wa ‘alâ âli Sayyidinâ Ibrôhîma
Wa bârik ‘alâ Sayyidinâ Muhammadin wa ‘alâ âli Sayyidinâ Muhammadin kamâ bârokta ‘alâ Sayyidinâ Ibrôhîma wa ‘alâ âli Sayyidinâ Ibrôhîma
Fîl ‘âlamîna innaka hamîdun majîd

Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami, Nabi Muhammad saw, dan kepada keluarganya, sebagaimana Engkau limpahkan rahmat kepada Nabi Ibrohim as. dan keluarganya. Berikanlah keberkahan kepada junjungan kami, Nabi Muhammad saw, dan keluarganya, sebagaimana Engkau limpahkan berkah kepada Nabi Ibrohim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Agung di seluruh alam.

Bacaan keempat
DOA.
Dalam Hal ini doanya tiap individu yg mimpin berbeda.. Hanya saja yang biasanya dibaca adah doa sapujagat.

رَبَّنَا أَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ


RABBANAA AATINAA FIDDUN YAA HASANAH, WA FIL AAKHIRATI HASANAH, WAQINAA ‘ADZAA BAN NAAR.

Artinya :
Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan hidup di dunia dan kebaikan hidup di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api neraka.

*LALU KENAPA ADA SESAJEN KEPALA KERBAU DAN MAKANAN DIBUANG KELAUT? BUKANKAH ITU MUBADZIRR!! (ini biasanya pertanyaan yg keluar dari sekte wahabi yg tidak pernah mau bertanya ke ulama yg punya sanad keguruan sampai rasulullah shallallahu alaihi wasallam)

Itu bukan membuang makanan, namun memberi makan hewan hewan dilaut sebagai sedekah, bersyukur atas nikmat yang diberi Allah swt.
Maka disebut acara ini adalah sedekah laut atau sedekah bumi,
Nyadran (sedekah) Laut /bumi dapat berupa upacara dengan melarung (menggiring) sesajen ke laut. Ulama jaman dahulu tidak mengajarkan kita untuk mubadzir. Tradisi ini mendidik masyarakat agar jangan hanya memanen ikan yang ada di laut, namun juga merawat dan memberinya makan.

*LALU APA DALILNYA? *

Islam adalah agama sempurna. Banyak sunnah-sunnah Rasulullah yang menganjurkan kita mencintai, memberi makan dan minum, serta melakukan hal-hal baik pada hewan.

“Pada setiap sedekah terhadap mahluk yang memiliki hati (jantung) yang basah (hidup) akan dapatkan pahala kebaikan. Seorang muslim yang menanam tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang kemudian dimakan oleh burung-burung, manusia, atau binatang, maka baginya sebagai sedekah.” (HR. Bukhori, HR. Muslim).

“Pada setiap yang mempunyai hati yang basah (hewan) itu terdapat pahala (dalam berbuat baik kepadaNya)” (HR Al-Bukhari : 2363)

“Kasihanilah siapa yang ada di bumi ini, niscaya kalian dikasihani oleh yang ada di langit” (HR At-Tirmdzi : 1924)

“Barangsiapa yang tidak belas kasih niscaya tidak dibelaskasihi” (HR Al-Bukhari ; 5997, Muslim : 2318)

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطْشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطْشِ فَقَالَ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِـي. فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقى فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لَنَـا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟ قَالَ: فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطبَةٍ أَجْرٌ


“Ketika tengah berjalan, seorang laki-laki mengalami kehausan yang sangat. Dia turun ke suatu sumur dan meminum darinya. Tatkala ia keluar tiba-tiba ia melihat seeokor anjing yang sedang kehausan sehingga menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah yang basah. Orang itu berkata: “Sungguh anjing ini telah tertimpa (dahaga) seperti yang telah menimpaku.” Ia (turun lagi ke sumur) untuk memenuhi sepatu kulitnya (dengan air) kemudian memegang sepatu itu dengan mulutnya lalu naik dan memberi minum anjing tersebut. Maka Allah SWT berterima kasih terhadap perbuatannya dan memberikan ampunan kepadanya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasullulah, apakah kita mendapat pahala (bila berbuat baik) pada binatang?” Beliau bersabda: “Pada setiap yang memiliki hati yang basah maka ada pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

*KENAPA PAKAI BAKAR MENYAN?*
Karena mengikuti sunnah.
Ini dalilnya:

جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُمْ، وَخُصُومَاتِكُمْ وَحُدُودَكُمْ وَشِرَاءَكُمْ وَبَيْعَكُمْ وَجَمِّرُوهَا يَوْمَ جَمْعِكُمْ، وَاجْعَلُوا عَلَى أَبْوَابِهَا مَطَاهِرَكُمْ


“Jauhkanlah masjid-masjid kalian dari anak-anak kecil kalian, dari pertikaian diantara kalian, pendarahan kalian dan jual beli kamu. Ukuplah masjid-masjid itu pada hari perhimpunan kamu dan jadikanlah pada pintu-pintunya itu alat-alat bersuci kalian. (HR. Imam Al-Thabrani didalam Al-Mu’jram al-Kabir. Ibnu Majah, Abdurrazaq dan Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan redaksi yang hampar sama)

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah pernah menyebutkan dalam kitabnya Siyar A’lam An-Nubala’ (5 /22 ) tentang biografi Nu’aim Bin Abdillah Al-Mujammar, sebagai berikut :

نعيم بن عبد الله المجمر المدني الفقيه ، مولى آل عمر بن الخطاب ، كان يبخر مسجد النبي صلى الله عليه وسلم .


“Nu’aim Bin Abdillah Al-Mujammar, ahli Madinah, seorang faqih, Maula (bekas budak) keluarga Umar Bin Khattab. Ia membakar kemenyan untuk membuat harum Masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Masih banyak lagi riwayat-riwayat yang serupa. Dan dari sebagian riwayat-riwayat yang disebutkan ini.
Maka diketahui bahwa penggunaan kemenyan merupakan hal biasa pada masa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, demikian juga pada masa para sahabat dan seterusnya. Baik sebagai wangi-wangian maupun hal-hal yang bersifat keagamaan.



SEDEKAH LAUT
(Dibaca Sampai Tamat Biar Gk Gagal Faham)
Dan Tidak Main Asal Nuduh Syirik

Fenomena sedekah laut tidak dapat dipandang secara sederhana menjadi persoalan hitam dan putih, syirik/kufur dan iman. Di dalamnya banyak masalah yang dapat dikaji. Dan masalah ini cukup kompleks sehingga kita perlu hati-hati memahami persoalan ini.
Pertama sekali bahwa kami berasumsi bahwa fenomena sedekah laut ini mengandung dua persoalan. Pertama, persoalan aqidah atau keimanan. Kedua, masalah fiqhiyyah.
Perihal persoalan aqidah atau keimanan tidak dapat dilihat secara sederhana menjadi hitam/syirik/kufur dan putih/tauhid/imam. Masalah ini dapat ditafsil (dirinci) berdasarkan situasi di lapangan.

Fenomena ini bisa jadi dihukumi haram bila mengandung unsur kemusyrikan atau syirik sebagaimana pernah diputuskan dalam Mukatamar NU Ke-5 pada 1930 M/1349 H di Pekalongan perihal peringatan sedekah bumi atau jin penjaga desa. Para kiai ketika itu mengutip Syarah Tafsir Jalalain karya Syekh Sulaiman Al-Jamal dan Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali.

ﻗَﺎﻝَ ﻣُﻘَﺎﺗِﻞُ ﻛَﺎﻥَ ﺃَﻭَّﻝُ ﻣَﻦْ ﺗَﻌَﻮَّﺫَ ﺑِﺎﻟْﺠِﻦِّ ﻗَﻮْﻡٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻴَﻤَﻦِ ﻣِﻦْ ﺑَﻨِﻲ ﺣَﻨِﻴْﻔَﺔَ ﺛُﻢَّ ﻓَﺸَﺎ ﺫَﻟِﻚَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏِ ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺟَﺎﺀَ ﺍْﻹِﺳْﻼَﻡُ ﺻَﺎﺭَ ﺍﻟﺘَّﻌَﻮُّﺫُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻻَ ﺑِﺎﻟْﺠِﻦِّ

Artinya, “Orang yang pertama meminta perlindungan kepada jin adalah kaum dari Bani Hanifah di Yaman, kemudian hal tersebut menyebar di Arab. Setelah Islam datang, maka berlindung kepada Allah menggantikan berlindung kepada jin,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Jamal, Al-Futuhatul Ilahiyyah ).
Tetapi fenomena ini bisa jadi dihukumi mubah bila upacara dengan melakukan penyembelihan hewan tertentu ini dimaknai atau diniatkan sebagai taqarrub kepada Allah untuk mengusir jin jahat atau makhluk penguasa laut. Namun, ketika penyembelihan hewan ini diniatkan untuk menyenangkan jin penguasa laut, maka hal ini dihukumi haram sebagaimana keterangan Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in sebagai berikut.

ﻣﻦ ﺫﺑﺢ ﺗﻘﺮﺑﺎ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﺪﻓﻊ ﺷﺮ ﺍﻟﺠﻦ ﻋﻨﻪ ﻟﻢ ﻳﺤﺮﻡ، ﺃﻭ ﺑﻘﺼﺪﻫﻢ ﺣﺮﻡ

Artinya, “Siapa saja yang memotong (hewan) karena taqarrub kepada Allah dengan maksud menolak gangguan jin, maka dagingnya halal dimakan. Tetapi kalau jin-jin itu yang ditaqarrubkan, maka daging sembelihannya haram.”
Keterangan Syekh Zainuddin Al-Malibari di atas ini kemudian diulas lebih lanjut Oleh Syekh Sayid Bakri bin Sayid M Syatha Ad-Dimyathi dalam I‘anatut Thalibin berikut ini.

ﻣﻦ ﺫﺑﺢ ‏) ﺃﻱ ﺷﻴﺄ ﻣﻦ ﺍﻹﺑﻞ ﺃﻭ ﺍﻟﺒﻘﺮ ﺃﻭ ﺍﻟﻐﻨﻢ ‏( ﺗﻘﺮﺑﺎ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ‏) ﺃﻱ ﺑﻘﺼﺪ ﺍﻟﺘﻘﺮﺏ ﻭﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺣﺪﻩ ‏( ﻟﺪﻓﻊ ﺷﺮ ﺍﻟﺠﻦ ﻋﻨﻪ ‏) ﻋﻠﺔ ﺍﻟﺬﺑﺢ ﺃﻱ ﺍﻟﺬﺑﺢ ﺗﻘﺮﺑﺎ ﻷﺟﻞ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻜﻔﻲ ﺍﻟﺬﺍﺑﺢ ﺷﺮ ﺍﻟﺠﻦ ﻋﻨﻪ ‏( ﻟﻢ ﻳﺤﺮﻡ ‏) ﺃﻱ ﺫﺑﺤﻪ، ﻭﺻﺎﺭﺕ ﺫﺑﻴﺤﺘﻪ ﻣﺬﻛﺎﺓ، ﻷﻥ ﺫﺑﺤﻪ ﻟﻠﻪ ﻻ ﻟﻐﻴﺮﻩ ‏( ﺃﻭ ﺑﻘﺼﺪﻫﻢ ﺣﺮﻡ ‏) ﺃﻱ ﺃﻭ ﺫﺑﺢ ﺑﻘﺼﺪ ﺍﻟﺠﻦ ﻻ ﺗﻘﺮﺑﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ، ﺣﺮﻡ ﺫﺑﺤﻪ، ﻭﺻﺎﺭﺕ ﺫﺑﻴﺤﺘﻪ ﻣﻴﺘﺔ . ﺑﻞ ﺇﻥ ﻗﺼﺪ ﺍﻟﺘﻘﺮﺏ ﻭﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻟﻠﺠﻦ ﻛﻔﺮـ ﻛﻤﺎ ﻣﺮ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﺬﺑﺢ ﻋﻨﺪ ﻟﻘﺎﺀ ﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﺃﻭ ﺯﻳﺎﺭﺓ ﻧﺤﻮ ﻭﻟﻲ ـ .

Artinya, “(Siapa saja yang memotong [hewan]) seperti unta, sapi, atau kambing (karena taqarrub kepada Allah) yang diniatkan taqarrub dan ibadah kepada-Nya semata (dengan maksud menolak gangguan jin) sebagai dasar tindakan pemotongan hewan. Taqarrub dengan yakin bahwa Allah dapat melindungi pemotongnya dari gangguan jin, (maka daging) hewan sembelihan-(nya halal dimakan) hewan sembelihannya menjadi hewan qurban karena ditujukan kepada Allah, bukan selain-Nya.
(Tetapi kalau jin-jin itu) bukan Allah (yang ditaqarrubkan, maka daging sembelihannya haram) karena tergolong daging bangkai. Bahkan, jika seseorang berniat taqarrub dan mengabdi pada jin, maka tindakannya terbilang kufur. Persis seperti yang sudah dibahas perihal penyembelihan hewan ketika berjumpa dengan penguasa atau berziarah menuju makam wali,” (Lihat Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [tanpa catatan kota, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 349).
Adapun persoalan fiqih, fenomena ini juga tidak dapat dilihat secara sederhana hitam-putih. Fenomena atau kegiatan apa pun boleh jadi dilarang karena mengandung i‘dha‘atul mal (menyi-nyiakan harta) atau unsur tabzir.

Tetapi ulama memberikan catatan bahwa tindakan i‘dha‘atul mal atau tabzir dengan menyia-nyiakan sedikit harta dihukumi makruh sebagaimana masalah ukuran sedikit-banyak ini dapat ditarik (diilhaq-kan) dari masalah penaburan bunga di makam.

ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻳﺴﻴﺮﺍً ﻛﺎﻥ ﻣﺒﺎﺣﺎً ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻛﺜﻴﺮﺍً ﻛﺮﻩ ﺗﻨﺰﻳﻬﺎً

Artinya, “Jika itu hanya sedikit, maka mubah. Tetapi jika itu banyak, maka makruh tanzih (yang baiknya ditinggalkan),” (Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 570).

Dari sini, kita dapat menarik simpulan bahwa fenomena sedekah laut atau sedekah bumi bisa dilihat dari niat mereka yang melakukannya karena ini berurusan dengan masalah keyakinan, aqidah, tauhid, keimanan, dan seberapa sering upacara ini (misalnya sebulan sekali) dilakukan karena berkaitan dengan dana dalam pengertian idh‘atul mal atau tindakan tabdzir yaitu menyia-nyiakan harta yang dimakruh dalam agama.

Lain soal ketika barang-barang yang dilarung itu seperti ayam, sayur-sayuran segar, buah-buahan, dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan dan sebagian masyarakat yang hadir, maka itu bernilai ibadah. Jadi upacara sedekah laut ini mengandung banyak kemungkinan seseuai dengan praktiknya di lapangan..
Kisah dibawah ini yang tidak boleh dilakukan karena mengorbankan nyawa manusia

Kisah Khalifah Umar bin Khaththab bersama Sungai Nil

Pada suatu saat, sungai Nil di Mesir pernah kering tidak mengalirkan air. Maka penduduk Mesir mendatangi ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu –gubernur Mesir saat itu- seraya mengatakan,”Wahai ‘Amr, sungai Nil kita ini memiliki suatu musim untuk tidak mengalir kecuali dengan (mempersembahkan) tumbal.” ‘Amr bertanya,”Tumbal apakah itu?” Mereka menjawab,”Pada tanggal 12 di bulan seperti ini, biasanya kami mencari gadis perawan. Lalu kita merayu orangtuanya dan memberinya perhiasan dan pakaian yang mewah. Kemudian kita lemparkan anak gadisnya ke sungai Nil ini.” Mendengar hal itu, ‘Amr mengatakan kepada mereka,”Ini tidak boleh dalam agama Islam. Islam telah menghapus keyakinan tersebut.”

Beberapa bulan menunggu, tetapi sungai Nil tetap kering sehingga hampir saja penduduk nekat memberikan tumbal. ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu kemudian menulis surat kepada Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu untuk mengadukan masalah tersebut. Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab,”Sikapmu sudah benar. Dan bersama ini saya kirimkan secarik kertas dalam suratku ini untuk kamu lemparkan ke sungai Nil.”

Ketika surat itu sampai, maka ‘Amr radhiyallahu ‘anhu pun mengambilnya. Ternyata isi surat itu sebagai berikut,”Dari hamba Allah, Umar Amirul Mukminin kepada sungai Nil, sungai penduduk Mesir. Amma ba’du. Bila kamu mengalir karena kehendakmu sendiri, maka kamu tidak perlu mengalir karena kami tidak butuh kepadamu. Tetapi kalau kamu mengalir karena perintah Allah –yaitu Dzat yang mengalirkanmu-, maka kami berdoa agar Allah mengalirkanmu.”

Setelah surat Umar tadi dilemparkan ke sungai Nil, maka dalam semalam saja Allah Ta’ala telah mengalirkan sungai Nil sehingga setinggi enam belas hasta. [Al-Bidayah wan Nihayah, 7/100]

Disini bisa dilihat, apakah suatu acara melanggar syari'at agama atau tidak. Berpikir dengan bijak dan dengan rasa didalam melakukan sesuatu. Tebarkan islam yang rohmatallil'alamin, penuh kedamaian dan kasih sayang antar sesama mahluk.


Tumbal Di Sungai Nil, Mesir

Dahulu masa pra Islam, jika air di sungai Nil surut, maka penduduk Mesir menggelar upacara mengambil anak gadis untuk dijadikan tumbal agar sungai Nil airnya melimpah.
Setelah dimasuki Islam, di Mesir saat itu gubernurnya adalah Shahabat Amr bin Ash, ketika masyarakat Mesir kuno akan melakukan hal itu dilarang oleh gubernur. Beliau berkirim surat kepada Sayidina Umar sebagai Khalifah. Beliau membalas surat dan berpesan agar surat itu dimasukkan ke sungai Nil.
Sebelum dimasukkan ke sungai Nil, Shahabat Amr bin Ash masih membaca isi surat tersebut: "Dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Dari hamba Allah, Umar bin Khattab untuk sungai Nil Mesir; Jika kamu mengalir karena dirimu sendiri maka janganlah mengalir. Tapi jika Allah yang maha esa dan maha memaksa apapun yang mengalirkanmu maka kami meminta kepada Allah agar Allah mengalirkan mu". Lalu surat itu dilempar ke sungai Nil, sehari sebelum Natal, dan ternyata air naik sampai 16 dzira' karena keberkahan Sayidina Umar.
Setelah hari-hari Islam melemah di Mesir, ritual tersebut kembali lagi dan caranya tidak sesuai dengan Islam.
Dengan demikian, perayaan sungai Nil yang telah terpenuhi airnya, harus berupa perayaan atas nikmat dari Allah yang terbesar untuk Mesir. Dengan cara mensyukuri nikmat Allah dan menggunakan air ini untuk kebaikan manusia. Serta menghindari bentuk mengotori dan berlebihan. Dan syukuran ini tidak boleh dengan cara-cara yang diharamkan oleh Allah.
>> Diringkas dari Fatawa Al-Azhar 10/371(Mufti Syekh Athiyyah Shaqr)

ﻭﻓﺎء اﻟﻨﻴﻞ ﻭﻫﻮ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﻣﺎﺋﻪ ﺇﻟﻰ ﺣﺪ ﻣﻌﻴﻦ ﻳﺒﺸﺮ ﺑﺎﻟﺨﻴﺮ ﻭﻭﻓﺮﺓ اﻟﻤﺤﺼﻮﻝ ﺃﻣﺮ ﻛﺎﻥ ﻳﻬﺘﻢ ﺑﻪ اﻟﻤﺼﺮﻳﻮﻥ ﻣﻦ ﻗﺪﻳﻢ اﻟﺰﻣﺎﻥ، اﺑﺘﻬﺎﺟﺎ ﺑﻮﻓﺮﺓ اﻟﻤﺎء، ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻧﻮا ﻳﺒﺘﻬﺠﻮﻥ ﺑﺄﻋﻴﺎﺩ اﻟﺤﺼﺎﺩ ﻭاﻟﺮﺑﻴﻊ ﻭاﻟﻤﻨﺎﺳﺒﺎﺕ اﻟﺨﺎﺻﺔ ﺑﺎﻟﺰﺭاﻋﺔ.

ﻭﻗﺪﺳﻮا اﻟﻨﻴﻞ ﺣﺘﻰ ﺟﻌﻠﻮﻩ ﺇﻟﻬﺎ ﻳﺘﻘﺮﺑﻮﻥ ﺇﻟﻴﻪ ﺑﺄﻧﻮاﻉ اﻟﻘﺮﺑﺎﺕ اﻟﺘﻰ ﻣﻨﻬﺎ ﺇﻟﻘﺎء ﻋﺮﻭﺱ ﻣﺰﻳﻨﺔ ﻓﻴﻪ ﻭﺳﻂ اﺣﺘﻔﺎﻝ ﻛﺒﻴﺮ، ﻓﻰ ﺷﻬﺮ ﺗﻮﺕ ﺃﻭ ﻣﺴﺮﻯ ﻛﻞ ﻋﺎﻡ.

ﻭﻟﻤﺎ ﻓﺘﺤﺖ ﻣﺼﺮ ﺃﺑﻄﻞ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻫﺬﻩ اﻟﻌﺎﺩﺓ

ﺟﺎء ﻓﻰ "ﺑﺪاﺋﻊ اﻟﺰﻫﻮﺭ ﻻﺑﻦ ﺇﻳﺎﺱ" ﺟ 1 ﺻ 13 ﻣﻦ اﻟﻤﺨﺘﺎﺭ ﻃﺒﻌﺔ اﻟﺸﻌﺐ: ﻗﺎﻝ اﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺤﻜﻢ: ﻟﻤﺎ اﺳﺘﻘﺮ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ اﻟﻌﺎﺹ ﺑﻤﺼﺮ ﺟﺎء ﺇﻟﻴﻪ اﻟﻘﺒﻂ ﻭﻗﺎﻟﻮا ﻟﻪ: ﺃﻳﻬﺎ اﻷﻣﻴﺮ ﺃﻥ ﻟﻨﻴﻠﻨﺎ ﺳﻨﺔ ﻛﻞ ﺳﻨﻪ ﻻ ﻳﺠﺮﻯ ﺇﻻ ﺑﻬﺎ، ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﻢ: ﻭﻣﺎ ﻫﻰ؟ ﻓﻘﺎﻟﻮا: ﺇﺫا ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻴﻠﺔ اﺛﻨﺘﻰ ﻋﺸﺮﻩ ﻣﻦ ﺷﻬﺮ ﺑﺆﻭﻧﺔ ﻣﻦ اﻟﺸﻬﻮﺭ اﻟﻘﺒﻄﻴﺔ ﻋﻤﺪﻧﺎ ﺇﻟﻰ ﺟﺎﺭﻳﺔ ﺑﻜﺮ ﻭﺃﺧﺬﻧﺎﻫﺎ ﻣﻦ ﺃﺑﻮﻳﻬﺎ ﻏﺼﺒﺎ ﺃﻭ ﺭﺿﺎء ﻭﺟﻌﻠﻨﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ اﻟﺤﻠﻰ ﻭاﻟﺤﻠﻞ ﺛﻢ ﺃﻟﻘﻴﻨﺎﻫﺎ ﻓﻰ ﺑﺤﺮ اﻟﻨﻴﻞ ﻓﻰ ﻣﻜﺎﻥ ﻣﻌﻠﻮﻡ.

ﻓﻠﻤﺎ ﺳﻤﻊ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ اﻟﻌﺎﺹ ﺫﻟﻚ ﻗﺎﻝ ﻟﻬﻢ: ﻫﺬا اﻷﻣﺮ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻰ اﻹﺳﻼﻡ ﺃﺑﺪا. ﻓﺄﻗﺎﻡ ﺃﻫﻞ ﻣﺼﺮ ﺷﻬﺮ ﺑﺆﻭﻧﺔ ﻭﺃﺑﻴﺐ ﻭﻣﺴﺮﻯ ﻭﺗﻮﺕ ﻣﻦ اﻟﺸﻬﻮﺭ اﻟﻘﺒﻄﻴﺔ، ﻭﻟﻢ ﻳﺠﺮ ﻓﻴﻬﺎ اﻟﻨﻴﻞ ﻻ ﻗﻠﻴﻼ ﻭﻻ ﻛﺜﻴﺮا، ﻓﻬﻢ ﺃﻫﻞ ﻣﺼﺮ ﺑﺎﻟﺠﻼء. ﻓﻠﻤﺎ ﺃﻥ ﺭﺃﻯ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ اﻟﻌﺎﺹ ﺫﻟﻚ ﻛﺘﺐ ﻛﺘﺎﺑﺎ ﺇﻟﻰ ﺃﻣﻴﺮ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ اﻟﺨﻄﺎﺏ ﻭﺃﺭﺳﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻳﺪ ﻧﺠﺎﺏ، ﻓﻠﻤﺎ ﻭﺻﻞ ﺇﻟﻰ ﺃﻣﻴﺮ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ اﻟﺨﻄﺎﺏ ﻛﺘﺐ ﺑﻄﺎﻗﺔ ﻭﺃﺭﺳﻠﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ اﻟﻌﺎﺹ ﻭﺃﻣﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﻠﻘﻴﻬﺎ ﻓﻰ ﺑﺤﺮ اﻟﻨﻴﻞ، ﻓﻠﻤﺎ ﻭﺻﻠﺖ ﺇﻟﻰ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ اﻟﻌﺎﺹ ﻓﺘﺢ ﺗﻠﻚ اﻟﺒﻄﺎﻗﺔ ﻭﻗﺮﺃ ﻣﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﺇﺫا ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻜﺘﻮﺏ: ﺑﺴﻢ اﻟﻠﻪ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ ﻣﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ اﻟﺨﻄﺎﺏ ﺇﻟﻰ ﻧﻴﻞ ﻣﺼﺮ، ﺃﻣﺎ ﺑﻌﺪ، ﻓﺈﻥ ﻛﻨﺖ ﺗﺠﺮﻯ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻚ ﻓﻼ ﺗﺠﺮ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ اﻟﻮاﺣﺪ اﻟﻘﻬﺎﺭ ﻫﻮ اﻟﺬﻯ ﻳﺠﺮﻳﻚ ﻓﻨﺴﺄﻝ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻥ ﻳﺠﺮﻳﻚ.

ﻓﻠﻤﺎ ﻭﻗﻒ ﻋﻤﺮﻭ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻓﻰ اﻟﺒﻄﺎﻗﺔ ﺃﻟﻘﺎﻫﺎ ﻓﻰ اﻟﻨﻴﻞ ﻛﻤﺎ ﺃﻣﺮﻩ ﺃﻣﻴﺮ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻋﻤﺮ، ﻭﻗﺪ ﺃﻟﻘﺎﻫﺎ ﻓﻰ اﻟﻨﻴﻞ ﻗﺒﻞ ﻋﻴﺪ اﻟﺼﻠﻴﺐ ﺑﻴﻮﻡ ﻭاﺣﺪ، ﻭﻋﻴﺪ اﻟﺼﻠﻴﺐ ﻳﻜﻮﻥ ﺳﺎﺑﻊ ﻋﺸﺮ ﺗﻮﺕ ﻣﻦ اﻟﺸﻬﻮﺭ اﻟﻘﺒﻄﻴﺔ، ﻭﻛﺎﻥ ﻗﺪ ﺃﺟﻠﻰ ﻏﺎﻟﺐ ﺃﻫﻞ ﻣﺼﺮ ﻣﻦ ﻋﺪﻡ ﺟﺮﻳﺎﻥ اﻟﻤﺎء ﻓﻠﻤﺎ ﺃﺻﺒﺢ اﻟﻨﺎﺱ ﻳﻮﻡ ﻋﻴﺪ اﻟﺼﻠﻴﺐ ﺭﺃﻭا اﻟﻨﻴﻞ ﺯاﺩ ﻓﻰ ﺗﻠﻚ اﻟﻠﻴﻠﺔ ﺳﺘﺔ ﻋﺸﺮ ﺫﺭاﻋﺎ ﻓﻰ ﺩﻓﻌﺔ ﻭاﺣﺪﺓ، ﻭﻗﺪ ﻗﻄﻊ اﻟﻠﻪ ﺗﻠﻚ اﻟﺴﻨﺔ اﻟﺴﻴﺌﺔ ﻋﻦ ﺃﻫﻞ ﻣﺼﺮ ﺑﺒﺮﻛﺔ ﺃﻣﻴﺮ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻋﻤﺮ اﺑﻦ اﻟﺨﻄﺎﺏ ﺭﺿﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ.

ﻭﻓﻰ ﺃﻳﺎﻡ اﻟﻀﻌﻒ اﻹﺳﻼﻣﻰ ﻋﺎﺩ اﻻﺣﺘﻔﺎﻝ ﺑﻮﻓﺎء اﻟﻨﻴﻞ ﺑﻤﺮاﺳﻢ ﻻ ﺗﺘﻔﻖ ﻣﻊ اﻟﺪﻳﻦ

ﻭﻣﻬﻤﺎ ﻳﻜﻦ ﻣﻦ ﺷﻰء ﻓﺈﻥ اﻻﺣﺘﻔﺎﻝ ﺑﻮﻓﺎء اﻟﻨﻴﻞ ﻳﺠﺐ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ اﺣﺘﻔﺎﻻ ﺑﻨﻌﻤﺔ ﻣﻦ ﺃﻛﺒﺮ ﻧﻌﻢ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺼﺮ، ﻭﺫﻟﻚ ﺑﺸﻜﺮﻩ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭﺣﺴﻦ اﺳﺘﺨﺪاﻡ ﻫﺬﻩ اﻟﻤﻴﺎﻩ ﻓﻰ ﺧﻴﺮ اﻟﻨﺎﺱ، ﻭاﻟﺒﻌﺪ ﻋﻦ ﺗﻠﻮﻳﺜﻬﺎ ﻭاﻹﺳﺮاﻑ ﻓﻴﻬﺎ. ﻭﻟﻴﺲ ﻫﺬا اﻟﺸﻜﺮ ﺑﻤﻈﺎﻫﺮ ﻳﺮﺗﻜﺐ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺎ ﺣﺮﻡ اﻟﻠﻪ


Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar