Senin, 06 Maret 2017

Cara menghadapi badai fitnah akhir zaman

Akhir zaman kekayaan akan menjadi lambang kehormatan

قال رسول الله صلى الله عليه وأله وسلم:
سيأتي على الناس زمان بطونهم آلهتهم ونساؤهم قبلتهم ، ودنانيرهم دينهم ، وشرفهم متاعهم ، لا يبقى من الايمان إلا اسمه ، ومن الاسلام إلا رسمه ، ولا من القرآن إلا درسه ، مساجدهم معمورة ، وقلوبهم خراب من الهدى ، علماؤهم أشر خلق الله على وجه الأرض . حينئذ ابتلاهم الله بأربع خصال : جور من السلطان ، وقحط من الزمان ، وظلم من الولاة والحكام ، فتعجب الصحابة وقالوا : يا رسول الله أيعبدون الأصنام ؟ قال : نعم ، كل درهم عندهم صنم ) .متفق عليه

Rasulullah Saw bersabda.
Akan datang suatu zaman atas manusia:
1.Perut-perut mereka menjadi Tuhan-tuhan mereka.
2.Perempuan-perempuan mereka menjadi kiblat mereka.
3.Dinar-dinar(uang) mereka menjadi agama mereka.
4.Kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka.
Waktu itu, tidak tersisa dari iman kecuali namanya saja.
Tidak tersisa dari Islam kecuali ritual-ritualnya saja.
Tidak tersisa Al-Quran kecuali sebatas kajiannya saja.
Masjid-masjid mereka makmur, akan tetapi hati mereka kosong dari petunjuk (hidayah).
Ulama-ulama mereka menjadi makhluk Allah yang paling buruk di permukaan bumi.
Kalau terjadi zaman seperti itu, Allah akan menyiksa mereka dan menimpakan kepada mereka empat perkara (azab) :
1-Kekejaman para penguasa,
2-Kekeringan pada masa,
3-Kezaliman para pejabat,
4-Ketidak adilan para hakim."
Maka heranlah para sahabat mendengar penjelasan Rasulullah. Mereka bertanya, "Wahai Rasul Allah, apakah mereka ini menyembah berhala ?"
Nabi SAW menjawab, "Ya ! Bagi mereka, setiap dirham (uang) menjadi berhala (dipertuhankan/disembah)....."
(Hadist Mutafaqun'alaih)

Sayyidinal Imam Al Habib Abu Bakar Al-Adni bin Ali Al-Masyhur pernah menyampaikan sebuah nasehat di dalam kita menghadapi terpaan badai fitnah ini. Beliau mengingatkan kita yang berada di akhir zaman seperti sekarang ini agar berpegang teguh kepada 3 poin untuk menghadapi dahsyatnya fitnah akhir zaman yang mana bisa menjadikan seseorang mukmin di pagi harinya dan kafir di waktu sorenya.

POIN PERTAMA ADALAH AT-TALAQQI, yakni belajar dengan seorang syaikh yang ‘alim, sholeh dan mempunyai sanad ilmu yang jelas, dari guru ke guru, dari ‘alim ke ‘alim, dari syaikh ke syaikh, sampai kepada sumbernya ilmu yaitu Sayyidina Muhammad Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam.
At-Talaqqi ini tidak bisa didapatkan melalui media-media seperti radio, televisi, internet, media online, dan lain sebagainya. Akan tetapi, At-Talaqqi diperoleh dengan cara kita muwajahah dan musyafahah langsung di depan guru kita. Yang mana bila didapatkan suatu permasalahan agama maka guru kita menjadi tempat kembali untuk bertanya.
Lihatlah bagaimana orang-orang pada zaman dahulu tidak ada yang menggunakan teknologi yang namanya handphone atau smartphone, tetapi justru menghasilkan banyak ulama besar. Sebagai contoh, Sayyidil Habib Abdullah bin Umar Asy Syatiri yang mempunyai 13.000-an murid di zamannya dan semuanya menjadi seorang Mufti.

KEMUDIAN POIN KEDUA ADALAH AT-TARAQQI, yakni peningkatan kualitas diri di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala dengan berbagai macam bentuk ketaatan seperti shalat, dzikir, tilawah, dan amalan ibadah lainnya. Semakin hari akan semakin meningkat dan semakin baik, bukan sebaliknya yang semakin menurun.
Bagi mereka yang saat ini belum mendapatkan seorang guru atau syaikh yang dapat membimbingnya maka dianjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepada Sayyidina Muhammad Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam. Shalawat kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam ini merupakan guru bagi orang-orang yang belum mempunyai guru di dalam kehidupannya. Di saat yang bersamaan ia pun mesti berusaha untuk mencari guru bagi dirinya.
Ketahuilah bahwa menimba ilmu agama itu bukan melalui media seperti siaran radio, televisi, atau media online. Boleh kita mengikuti dan menimba ilmu melalui media-media tersebut asalkan kita mampu menjaga diri dengan benar sehingga tidak terjerumus di dalam faham-faham di luar ahlussunnah wal jama’ah. Pastikan media tersebut jelas bersumber dari kalangan ahlussunnah wal jama’ah (aswaja). Namun, perlu diperhatikan belajar ilmu agama melalui media seperti ini bukanlah merupakan bentuk At-Talaqqi. Sifatnya hanya sebatas sebagai penambahan ilmu saja.

DAN POIN TERAKHIR ATAU YANG KETIGA ADALAH AT-TAWAQQI, yakni menjaga atau penjagaan diri dari berbagai bentuk kemungkaran atau kemaksiatan. Penjagaan diri ini hanya bisa dilakukan apabila sudah melewati at-Talaqqi atau lewat guru. Kita tidak dapat menjaga diri dan meningkatkan ibadah kalau tidak ada guru. Dengan tidak mempunyai guru akan memudahkan ia terkena badai fitnah akhir zaman karena ia tidak mempunyai panutan atau pegangan di dalam hidupnya yang dapat menuntunnya ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Untuk itulah sebagai seorang muslim perlu untuk mempunyai kekuatan dan hubungan dengan orang-orang shaleh yakni para guru dan masyaikh yang jelas sanadnya.

Selengkapnya:

Pedoman Muslim Dalam Memberikan Nasehat dan Beramar Makruf Nahi Munkar
Pejuang Ahlussunnah Pejuang Ahlussunnah Waljama'ah.

َبِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَصَلَّى اللّٰهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَآلِهِ الطَّاهِرِيْنَ وَصَحَابَتِهِ أَجْمَعِيْنَ. عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللّٰهِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ : بَايَعْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى : إِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ (متفقٌ عليه). عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : « لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ » (متفقٌ عليه) .


Dari Jarir bin ‘Abdullah radhiyallohu ‘anhu berkata, “Saya pernah berbaiat kepada Rasulullah shollallohu alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam untuk senantiasa menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan memberi nasehat kepada setiap muslim”.

Menegakkan shalat adalah dengan tidak meninggalkan shalat pada waktunya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam Quran Surat Al-Ma’un ayat 4-5,

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥﴾


“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. (Quran Surat Al-Ma’un: 4-5)

Yakni melalaikan shalat dari waktunya, bukan lalai di dalam shalatnya. Oleh karena itulah, ayat di atas menggunakan redaksi ‘an (عَن) bukan fi (فِي).

Kalau redaksinya fi sholatihim sahun (فِي صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ) maka kita semua bakal terkena adzab dari Allah subhanahu wa ta’ala karena kita lalai di dalam shalatnya. Tidak ada seorang pun diantara kita yang ingat kepada Allah di waktu shalat kita. Ketika sedang shalat, pikiran kita selalu kemana-kemana teringat di luar shalat.

بَايَعْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى : إِقَامِ الصَّلاَةِ


Aku berbaiat kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam untuk menegakan shalat, mendirikan shalat di waktunya, mengerjakan sunnah-sunnahnya, adab-adab, dan syarat-syaratnya shalat. Kemudian,

وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ


Dan aku pun membaiat Nabi di dalam menunaikan zakat, kepada orang fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharimin, fi sabilillah, dan ibnus sabil, yang termasuk dalam 8 ashnaf mustahiq zakat. Kemudian,

وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ


Dan aku pun membaiat Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam untuk selalu menasehati atas setiap muslim, senantiasa mengingatkan setiap muslim memenuhi haknya di dalam ia melazimi haknya Islam, tidak boleh ia meninggalkan Islam. Dengan demikian orang-orang dapat mengetahui akan hukum-hukum Islam, mengetahui mana yang boleh dan tidak boleh dikerjakan. Terlebih lagi di era sekarang ini yang penuh dengan badai fitnah di mana-mana.

Sayyidinal Imam Al Habib Abu Bakar Al-Adni bin Ali Al-Masyhur pernah menyampaikan sebuah nasehat di dalam kita menghadapi terpaan badai fitnah ini. Beliau mengingatkan kita yang berada di akhir zaman seperti sekarang ini agar berpegang teguh kepada 3 poin untuk menghadapi dahsyatnya fitnah akhir zaman yang mana bisa menjadikan ia mukmin di pagi harinya dan kafir di waktu sorenya.

Poin pertama adalah At-Talaqqi, yakni belajar dengan seorang syaikh yang ‘alim, sholeh dan mempunyai sanad ilmu yang jelas, dari guru ke guru, dari ‘alim ke ‘alim, dari syaikh ke syaikh, sampai kepada sumbernya ilmu yaitu Sayyidina Muhammad Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam.

At-Talaqqi ini tidak bisa didapatkan melalui media-media seperti radio, televisi, internet, media online, dan lain sebagainya. Akan tetapi, At-Talaqqi diperoleh dengan cara kita muwajahah dan musyafahah langsung di depan guru kita. Yang mana bila didapatkan suatu permasalahan agama maka guru kita menjadi tempat kembali untuk bertanya.

Lihatlah bagaimana orang-orang pada zaman dahulu tidak ada yang menggunakan teknologi yang namanya handphone atau smartphone, tetapi justru menghasilkan banyak ulama besar. Sebagai contoh, Sayyidil Habib Abdullah bin Umar Asy Syatiri yang mempunyai 13.000-an murid di zamannya dan semuanya menjadi seorang Mufti.

Kemudian poin kedua adalah At-Taraqqi, yakni peningkatan kualitas diri di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala dengan berbagai macam bentuk ketaatan seperti shalat, dzikir, tilawah, dan amalan ibadah lainnya. Semakin hari akan semakin meningkat dan semakin baik, bukan sebaliknya yang semakin menurun.

Bagi mereka yang saat ini belum mendapatkan seorang guru atau syaikh yang dapat membimbingnya maka dianjurkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepada Sayyidina Muhammad Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam. Shalawat kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam ini merupakan guru bagi orang-orang yang belum mempunyai guru di dalam kehidupannya. Di saat yang bersamaan ia pun mesti berusaha untuk mencari guru bagi dirinya.

Ketahuilah bahwa menimba ilmu agama itu bukan melalui media seperti siaran radio, televisi, atau media online. Boleh kita mengikuti dan menimba ilmu melalui media-media tersebut asalkan kita mampu menjaga diri dengan benar sehingga tidak terjerumus di dalam faham-faham di luar ahlussunnah wal jama’ah. Pastikan media tersebut jelas bersumber dari kalangan ahlussunnah wal jama’ah (aswaja). Namun, perlu diperhatikan belajar ilmu agama melalui media seperti ini bukanlah merupakan bentuk At-Talaqqi. Sifatnya hanya sebatas sebagai penambahan ilmu saja.

Kemudian poin ketiga atau yang terakhir adalah At-Tawaqqi, yakni menjaga atau penjagaan diri dari berbagai bentuk kemungkaran atau kemaksiatan. Penjagaan diri ini hanya bisa dilakukan apabila sudah melewati at-Talaqqi atau lewat guru. Kita tidak dapat menjaga diri dan meningkatkan ibadah kalau tidak ada guru. Dengan tidak mempunyai guru akan memudahkan ia terkena badai fitnah akhir zaman karena ia tidak mempunyai panutan atau pegangan di dalam hidupnya yang dapat menuntunnya ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Untuk itulah sebagai seorang muslim perlu untuk mempunyai kekuatan dan hubungan dengan orang-orang shaleh yakni para guru dan masyaikh yang jelas sanadnya.

Di dalam sebuah hadits,

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : « لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ » (متفقٌ عليه) .


Dari Anas radhiyallohu ‘anhu dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidaklah sempurna iman salah seorang diantara kamu sekalian sehingga ia mencintai kepada saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”. (Muttafaq ‘alaih)

Juga dikatakan dalam sebuah riwayat lain,

لِأَنَّ الْإِنْسَانَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ أَفْضَلَ النَّاسَ. وَإِذَا أَحَبَّ لِأَخِيْهِ مِثْلَهُ فَقَدْ دَخَلَ فِيْ جُمْلَةِ ذٰلِكَ الْوَارِدِ


Sesungguhnya manusia itu ingin dirinya menjadi orang yang paling utama di mata manusia yang lain. Apabila ia kemudian mempunyai perasaan yang sama seperti ini lalu ia tularkan kepada saudaranya berarti ia masuk di dalam jumlah kategori orang yang berada di warid hadits tersebut.

Manusia seperti ini ingin dikenal, ingin mendapatkan kedudukan dan kenikmatan, ingin ini dan itu, dan lain sebagainya. Kemudian ia katakan dan berharap agar tidak hanya dirinya saja yang mempunyai keinginan tersebut, maka ia pun berkeingingan agar saudaranya ikut dapat merasakan apa yang ia inginkan dan rasakan sehingga ia pun menularkannya. Ini baru dalam hal dunia, apalagi yang hendak ia tularkan terkait dengan permasalahan akherat, dimana ia ingin amal ibadah yang selama ini ia rasakan nikmat sekali bisa ditularkan kepada saudaranya agar saudaranya juga ikut merasakan kenikmatan yang sama.

Di dalam suatu riwayat disebutkan,

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا


Mukmin satu dengan mukmin yang lain itu seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lain.

مِنَ الْفِقْهَ أَنَّ الْمُؤْمِنَ مَعَ الْمُؤْمِنِ يَنْبَغِيْ أَنْ يَكُوْنَ كَالنَّفْسِ الْوَاحِدَةِ، فَيُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ لِنَفسٍ وَاحِدَةٍ.


Mukmin satu dengan mukmin yang lain itu seperti satu tubuh. Ia akan merasakan sakit kalau ada bagian tubuhnya sakit. Misalkan jika ada telinganya yang sakit maka bagian tubuh yang lain pun ikut merasakan kesakitannya.

Ketahuilah bahwasanya kita ini adalah umat terbaik yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang menyandang satu amanat mengajak kepada perbuatan amar makruf dan mencegah daripada kemungkaran serta beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka, jadikan dirimu menjadi orang yang bisa memaafkan orang lain, mengajak orang untuk berbuat kebajikan, dan berpaling daripada orang-orang yang bodoh. Sampaikan nasehat dengan penuh kelembutan, santun, dan kasih sayang, bukan dengan kekerasan dan kekasaran. Lihatlah bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihumas salam untuk mendatangi Raja Fir’aun dengan perkataan yang lembut.

Imam Al-Ghazali rahimahullah di dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin menyebutkan tentang bagaimana adab seseorang di dalam melakukan amar makruf nahi munkar agar berhasil. Beliau membaginya ke dalam 3 sifat, yaitu:

Pertama, Al-’Ilm, artinya ia harus berilmu, paham bagaimana kondisi masyarakat dan mengetahui apa yang dibutuhkannya sehigga pesan yang disampaikannya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.

Kedua, Al-Wara’, yakni ia mampu menjaga pandangan, makanan, lisan, dan senantiasa mengucapkan yang baik. Mampu mencegah dan menjauhkan diri dari hal-hal yang berdosa sebelum ia melangkahkan kakinya untuk memberikan nasehat kepada orang lain. Dalam hal ini sering terjadi kekeliruan di dalam persepsi masyarakat dimana ia masih sering melakukan dosa sehingga merasa dirinya belum pantas untuk memberikan nasehat. Semestinya kita memberikan nasehat sambil kita berjalan membersihkan diri dari hal-hal yang berdosa.

Ketiga, Husnul Khuluq, yakni akhlak yang baik. Artinya seseorang yang melakukan amar makruf nahi munkar tidak memberikan nasehat dengan perkataan marah-marah, membentak, dan lain-lain, akan tetapi ia tetap harus menjaga sikap yang baik.

Dikisahkan Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam pernah dicekik lehernya oleh seorang A’rabi ketika sedang membagi-bagikan harta ghanimah. A’rabi ini berkata kepada Rasulullah, “Engkau belum berbuat baik kepadaku”. Ia mengatakannya sambil membentak dan berbicara keras kepada Rasulullah di hadapan sahabat-sahabatnya. Tidak terima dengan perlakuan si A’rabi, para sahabat naik pitam dan meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuhnya, tetapi Rasulullah melarang para sahabatnya ini. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam kemudian menuntun A’rabi ini dan memasukan ia ke dalam rumahnya, kemudian diberikanlah tambahan harta ghanimah oleh Rasulullah. Setelah itu, A’rabi tersebut mengatakan Rasulullah telah berbuat baik kepada dirinya. Rasulullah pun meminta A’rabi ini untuk mengucapkan perkataan tersebu kembali di hadapan para sahabatnya agar tidak ada prasangka buruk kepadanya. Ia pun melaksanakan perintah Rasulullah dan pulang.

Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam kemudian berkata kepada para sahabatnya, kalau kalian tadi menangkap orang A’rabi tersebut dan kalian membunuhnya maka tentunya ia akan masuk ke dalam api neraka karena ia telah menyakiti Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam tidak ingin ada umatnya ini berada di dalam neraka. Hal ini tidak lain karena begitu cintanya Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam kepada umatnya.

Oleh karena itulah, melakukan amar makruf nahi munkar harus tetap mengedepankan Husnul Khuluq, akhlak yang baik, tidak cukup hanya Al-’Ilm dan Al-Wara’ saja. Inilah resep yang diberikan Imam Ghazali bagi orang-orang yang ingin berhasil dalam melakukan amar makruf nahi munkar, yaitu Al-’Ilm, Al-Wara’, dan Husnul Khuluq. Hal ini semuanya hanya bisa didapatkan dengan kita duduk bertalaqqi dengan seorang guru atau syaikh yang mempunyai sanad yang tersambung sampai kepada Sayyidina Muhammad Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa alihi wa shobihi wa sallam.
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar