Selasa, 17 Januari 2017

Sejarah sholawat Ilahi lastu lil firdausi ahla

Bahar atau Iramaya "Bahar Wafir"

Ulama' sufi yg terkenal, Beliau mengakui bahwa dirinya tdk pantas masuk surga, dan tdk kuat panasnya api neraka.

Beliau adalah putra mantan Kadi, dialah Abu Mawas..


Syair do'a Abu Nawas إِلهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً ilahi lastu lil firdausi ahla

. إِلهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً # وَلاَ أَقْوَى عَلىَ النَّارِ الجَحِيْمِ
Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka jahim
.
فَهَبْ ليِ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبيِ # فَإِنَّكَ غَافْرُ الذَّنْبِ العَظِيْمِ
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar.

ذُنُوْبيِ مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ # فَهَبْ ليِ تَوْبَةً يَاذاَالجَلاَلِ
Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan
.
وَعُمْرِي نَاقِصٌ فيِ كُلِّ يَوْمٍ # وَذَنْبيِ زَئِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِ
Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya.

إِلهِي عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ # مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ
Wahai, Tuhanku ! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu.

فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَا أَهْلٌ # فَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاكَ
Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah ahli pengampun.
Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?

Alkisah, seorang laki – laki setengah baya sedang duduk sendirian, memperhatikan matahari yang berangsur – angsur tenggelam. Suasananya cukup hening. Ia melihat begitu indahnya warna langit yang di penuhi dengan mega berwarna kuning jingga. Ia memperhatikannya dengan seksama, hingga akhirnya suasana indah itu hilang seiring dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat.

Entah apa penyebabnya, tiba – tiba ia tak mampu membendung air matanya. Hatinya terasa pedih. Ia menangis tersedu – sedu. Ia menengadahkan kedua tangannya sambil berkata :
"Ilahi lastu lil firdausi ahlan
Walaa aqwaa ‘alannaril jahiimii
fahabli taubatan waghfir dzunuubi
fainnaka ghafirudzdzambil ‘adzhiimii
dzunuubi mitslu a’daadir rimali
fahablii taubatan yaa dzal jalaali
wa ‘umrii naaqishun fii kulliyaumi
wa dzambii zaa idun kaifahtimali
ilahi ‘abdukal ‘aashi ataaka
muqirran bi dzunubi waqad da’aaka
fa in taghfir faanta lidzaka ahlun
wa in tadrud faman narjuu siwaakaa “

Yang artinya ;
” Ya Tuhanku, aku tidaklah pantas menjadi ahli syurga firdausMu
Namun aku juga tak kan sanggup masuk ke neraka jahimMU.
Oleh karena itu, terimalah taubatku dan tutupilah dosa – dosaku.
Sesungguhnya Engkau maha mengampuni dosa – dosa besar.
Dosa – dosa ku seperti hamparan pasir di laut, maka terimalah taubatku wahai Dzat yang Maha Agung…
Umurku terus berkurang setiap hari, namun dosa – dosaku bertambah setiap hari…
Bagaimana aku mampu menanggungnya ?
Ya Tuhanku, hambaMu yang berlumur dosa ini datang kepadaMU
Sesungguhnya aku benar – benar berdosa kepadaMU
Dan bila Engkau tidak mengampuni aku, kepada siapa lagi aku berharap selain Engkau ?”

Abu Nawas, sosok yang dikenal sosok lugu, agak pandir dan sering kita anggap sosok konyol yang tingkah dan ucapannya mengundang tawa, sebenarnya adalah orang yang baik dan sangat jujur. Kalimat – kalimat diatas adalah bentuk pengakuan dirinya atas semua dosa – dosa yang telah ia perbuat. Ketika Ia menyadari usianya yang semakin senja, tentu saja kepastian untuk segera kembali menghadap ALLAH itu pun akan segera datang.
Ia menangis ketika menyaksikan matahari tenggelam, karena ia menyadari bahwa orang hidup di dunia ini dapat di ibaratkan seperti itu. Namun jarang sekali kita mau merenungkan tanda – tanda kebesaran ALLAH swt. Dan mengambil pelajaran dari peristiwa demi peristiwa dalam hidup kita.
Ketika matahari akan tenggelam sering kali membawa suasana menyenangkan dan warna langit menjadi sangat indah. Sampai – sampai banyak orang yang terlena oleh keindahannya. Sementara mereka tidak menyadari bahwa sebentar lagi matahari akan tenggelam dan kegelapan malampun akan segera menyelimutinya. Kecuali orang yang sadar dan telah menyiapkan diri dengan membawa lentera untuk menerangi ketika malam tiba.
Rasulullah saw menangis hingga berguncang dadanya dan jenggotnya basah oleh air mata ketika menerima wahyu yang berbunyi : ” Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda – tanda (kebesaran ALLAH) bagi orang – orang yang berakal. Yaitu orang – orang yang mengingat ALLAH sambil berdiri atau duduk ataupun berbaring, dan mereka yang merenungkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata : ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua dengan sia – sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.’ ” (QS. Ali – Imran : 190 – 191)

Ketika Bilal bin Rabbah, muadzin kesayangan Rasulullah datang menegur, ” Mengapa engkau menangis wahai Rasulullah? Padahal ALLAH telah mengampuni dosa – dosamu yang lalu dan yang akan datang ?”
Rasulullah pun menjawab, ”Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur ? Aku menangis karena tadi malam telah turun wahyu kepadaku yang bunyinya : ‘Celakalah orang – orang yang membaca ayat ini kemudian tidak mau merenungkannya.’ “
Saat ini, Rasulullah dan Abu Nawas sama – sama sudah tiada, namun kita harus merenungkan semua ini. Sudahkah kita menjadi hamba yang bersyukur dan menyadari keberadaan kita di dunia ini dan kewajiban kita pada-NYA.
Seperti yang di katakan oleh Rasulullah bahwa hidup di dunia ini hanya persinggahan saja untuk menuju ke tujuan utama kita yaitu akhirat. Namun sudah cukupkan bekal kita untuk melakukan perjalanan tersebut ? Perjalanan akhirat menuju kehidupan yang sebenarnya, yang kekal dan abadi ?

adapun kisah lainnya yang di kemas lebih jenaka tapi menginspirasi sekali,berikut ceritanya:
alkisah ada perbincangan hangat antara abu nawas dan muridnya ;
“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil.” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?” kata orang pertama.
“Sebab lebih mudah diampuni oleh Tuhan.” kata Abu Nawas.
Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.
Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang tidak mengerjakan keduanya.” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?” kata orang kedua.
“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan.” kata Abu Nawas. Orang kedua langsung bisa mencerna jawaban Abu Nawas.
Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. “Manakah yang iebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”
“Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.” jawab Abu Nawas.
“Mengapa?” kata orang ketiga.
“Sebab pengampunan Allah kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu.” jawab Abu Nawas. Orang ketiga menerima aiasan Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.
Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya.
“Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda?”
“Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati.”
“Apakah tingkatan mata itu?” tanya murid Abu Nawas. “Anak kecil yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata.” jawab Abu Nawas mengandaikan.
“Apakah tingkatan otak itu?” tanya murid Abu Nawas. “Orang pandai yang melihat bintang di langit. la mengatakan bintang itu besar karena ia berpengetahuan.” jawab Abu Nawas.
“Lalu apakah tingkatan hati itu?” tanya murid Abu Nawas.
“Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap mengatakan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah.”
Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda. la bertanya lagi.
“Wahai guru, mungkinkah manusia bisa menipu Tuhan?”
“Mungkin.” jawab Abu Nawas.
“Bagaimana caranya?” tanya murid Abu Nawas ingin tahu.
“Dengan merayuNya melalui pujian dan doa.” kata Abu Nawas
“Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru.” pinta murid Abu Nawas “Doa itu adalah : llahi lastu HI firdausi ahla, wala aqwa’alan naril jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil ‘adhimi.
Sedangkan arti doa itu adalah : Wahai Tuhanku, aku ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi aku tidak akan kuat terhadap panasnya api neraka. Oleh sebab itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.

Luar biasa bukan.? mari kita juga lantunkan kata-kata itu untuk doa kita,semoga kita selalu berada dijalan yang lurus.
 
Kisah Doa/Syair Abu Nawas: Al I’tiraaf teks Arab, Latin, dan Terjemah

Abu Nawas adalah pujangga Arab dan merupakan salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik. Penyair ulung sekaligus tokoh sufi ini mempunyai nama lengkap Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami dan hidup pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid di Baghdad (806-814 M). Oleh masyarakat luas Abu Nawas dikenal terutama karena kecerdasan dan kecerdikan dalam melontarkan kata-kata, sehingga banyak lahir anekdot jenaka yang sarat dengan hikmah.
إِلهِي لََسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاَ# وَلاَ أَقوى عَلَى النّارِ الجَحِيم
Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi
Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim
فهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذنوبِي # فَإنّكَ غَافِرُ الذنْبِ العَظِيْم
Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil ‘azhiimi
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar
ذنوبِي مِثلُ أَعْدَادٍ الرّمَالِ # فَهَبْ لِي تَوْبَةً يَاذَاالجَلاَل
Dzunuubii mitslu a’daadir rimaali fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali
Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan
وَعُمْرِي نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ # وَذنْبِي زَائِدٌ كَيفَ احْتِمَالِي
Wa ‘umrii naaqishun fii kulli yaumi wa dzambii zaa-idun kaifah timaali
Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya
َإلهي عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ # مُقِرًّا بِالذنوبِ وَقَدْ دَعَاك
Ilaahii ‘abdukal ‘aashii ataaka muqirran bidzdzunuubi wa qad da’aaka
Wahai, Tuhanku ! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu
َفَإِنْ تَغْفِرْ فَأنْتَ لِذاك أَهْلٌ # فَإنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاك
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun wa in tathrud faman narjuu siwaaka
Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni,
Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?
Ilahi lastu lil firdausi ahla
Wala aqwa ‘alan naril jahimi
Fahabli taubatan wagfir dzunubi
Fainnaka ghafiru dzambil ‘adhimi

Wahai Tuhanku aku bukanlah ahli surga firdaus
Namun aku takkan kuat menahan panasnya api neraka
Maka terimalah tobatku dan limpahkanlah ampunan atas dosaku
Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar

LIRIK syair di atas sangatlah populer, utamanya di kalangan penyanyi dan penikmat lagu-lagu nasyid. I’tiraf atau pengakuan adalah judul yang diberikan kepada syair di atas. Mayoritas tim nasyid melantunkan dan menggubah lirik itu sedemikian rupa dalam album rekamannya, seperti Raihan, Mupla, dan banyak lagi.

Itulah syair yang dikenal sebagai warisan penyair superpopuler Irak, Abu Nawas. Meskipun ada juga pendapat, bahwa syair itu bukanlah gubahan Abu Nawas, tapi karya seorang sahabat Rasulullah Saw, Abdullah bin Rawahah.

Menurut sebuah riwayat, Abdullah bin Rawahah saat ingin menjumpai sahabatnya, Abdurrahman bin Auf. Setiba di rumah Abdurrahman, istri Abdurrahman membuka pintu dan betisnya terlihat karena hembusan angin yang mengingkap busananya.

Kejadian itu membuat Abdullah bin Rawahan jatuh pingsan karena merasa kaget dan berdosa. Setelah sadar, ia mengasingkan diri di sebuah perbukitan. Selama tiga hari, ia baru ditemukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, ketika terdengan syair Al-I’tiraf dari Abdullah bin Rawahah.
Sumber lainnya menyebutkan syair tersebut dari seorang Sahabat yang bertaubat, dikisahkan ketika berangkat berjihad fiisabilillah, istrinya ditinggalkan dalam kondisi hamil, karena lama kepergiannya hingga bertahun-tahun saat Sahabat ini pulang ia menjumpai istrinya bersama dengan seorang pemuda yang tiada ia kenali. Padahal senjata perang masih ia bawa, sehingga lantas pemuda yang tiada ia kenali itu dibunuhnya. Istrinya kemudian menceritakan kejadian sebenarnya bahwa yang ia bunuh adalah puteranya sendiri, sehingga timbullah penyesalan mendalam, lantas Sahabat tersebut mengasingkan diri dalam goa, siang malam ia meratapi kesalahannya hingga terlahirlah syair ini. Sumber lain menyebutkan, syair itu adalah karya Syekh Al-Sya’roni.

Terlepas dari mana yang benar, yang jelas Abu Nawas (sering pula disebut Abu Nuwas) adalah legenda, bernama asli Abu Hani Muhammad bin Hakam. Sastrawan dan penyair humoris ini diyakini hidup masa pemerintahan Khilafah Abbasiyah (786-890 M), era pemerintahan Sultan Harun Al-Rasyid Al-Abassi, dan meninggal di Bagdhad tahun 810 M. Ia dilahirkan di kota Al-Ahwaz, Persia, dan dibesarkan di Kota Basrah, Irak.

Nama Abu Nawas berarti “Bapak Si Rambut Ikat”, merujuk pada dua ikatan rambut panjangnya yang sampai sebahu. Semasa kecil, Abu Nawas “dijual” oleh ibunya kepada seorang penjaga toko dari Yaman, Sa’ad al-Yashira.

Semasa remaja, ia bekerja di sebuah toko di Basrah, Irak. Saat itulah, ketampanan dan kecerdasannya menarik perhatian seorang penyair berambut pirang, Waliban Ibnu Al-Hubab. Abu Nawas muda pun dibeli dan dimerdekakannya. Al-Hubab mengajari Abu Nawas ilmu ketuhanan (teologi), bahasa Arab, dan puisi. Abu Nawas lalu belajar juga kepada Khalaf Al-Ahmar.

Popularitas Abu Nawas menanjak karena kejenakaan syair-syair yang diciptakannya, sebuah gaya puisi yang bertentangan dengan tradisi syair di gurun pasir saat itu, ditambah dengan perilakunya yang suka mabuk (minum khamr) dan sejumlah syairnya yang mengeritik Al-Quran yang mengharamkan khamr.

Demikianlah, sebelum mendapatkan hidayah dan bertobat, Abu Nawas dikenal sebagai penyair kontroversial. Bahkan buku-buku sejarah menyebut Abu Nawas sebagai sastrawan cabul dan kotor.

Dalam keadaan mabuk karena meminum khamr, sambil ‘mengigau’ atau berbucara tak karuan, ia sering menggubah puisi yang membangga-banggakan minuman keras (puisi khumrayat). Ia sering keluar masuk penjara karena puisi-puisinya itu.

Karena karya-karya dan perilakunya yang tidak bermoral, sebagian ulama saat itu berpendapat, Abu Nawas adalah fasik (pelaku maksiat) bahkan kafir. Simak saja sebuah bait syairnya:

“Aku menyukai apa-apa yang Al-Quran larang
Dan aku menjauhkan diri dari apa-apa yang dibolehkannya”

Tidak hanya itu, Abu Nawas juga disebut-sebut sebagai gay, homoseksual, hal yang terasa asing di telinga kita. Tapi sebuah bait syarinya mengatakan demikian, misalnya: “Demi seorang pria muda, aku rela tinggalkan wanita”.

Namun demikian, Abu Nawas pernah kawin dengan salahsatu wanita yang masih familinya, tapi keesokan harinya perempuan itu diceraikannya karena ia tidak mencintainya. Abu Nawas juga diceritakan pernah mencintai seorang perempuan, bernama Jinan. Sayang, cintanya tak sampai.


TIDAK MAU JADI LALAT

Kehidupan Abu Nawas berubah total menjadi Islami, menurut suatu riwayat, setelah suatu malam, pada bulan Ramadhan (diyakini sebagai Malam Qodar), dalam keadaan “teler” ia didatangi seseorang tak dikenal. Orang itu berkata: “Ya Abu Hani! Idza lam takun milhan tuslih, fala takun zubabatan tufsid”. Artinya, “Hai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikan merusak hidangan itu”.

Kata-kata itu sangat berkesan pada diri Abu Nawas. Ia menyadari kesalahannya selama ini, merasa dirinya bukan garam, tapi lalat. Ia pun bertobat dan meninggalkan perilaku tidak Islaminya. Ia menjadi seorang ahli ibadah, rendah hati, rajin i’tikaf di masjid, dan jarang berbicara.

Meski demikian, ia tetap menggubah syair. Namun, syair-syairnya berganti warna, menjadi syair-syair dzikir dan senandung doa. Salah satu karyanya yang paling terkenal hingga kini, dijadikan senandung di pesantren-pesantren dan nasyid, adalah syair Al-I’tiraf di atas.

Menurut sebuah riwayat, suatu ketika, beberapa kawan Abu Nawas satu “geng” dulu, mendatanginya saat sedang i’tikaf di sebuah masjid.

“Apa yang keluar dari bibirmu sekarang?” ejek kawan-kawannya.
“Ayat-ayat Al-Quran,” jawab Abu Nawas, kalem.
“Yang kau pikirkan di kepalamu?”
“Kemahaagungan Allah yang sudah mengubah manusia buruk seperti kalian menjadi manusia yang baik seperti aku sekarang.”
“Kau habiskan malam-malammu dengan apa?”
“Dengan mendekatkan diriku yang hina dina ini kepada Dzat Yang Mahamulia, yaitu Allah SWT.”

“Lalu siang-siangmu keluyuran ke mana?”
“Ke gurun dan samudera petunjuk-Nya yang penuh rahmat dan ampunan. Aku tak akan tersesat di situ, karena firman-firman-Nya amat jelas,” kata Abu Nawas.

SASTRAWAN JENAKA

Abu Nawas dikenal luas bukan saja di dunia Islam, tapi juga dunia Barat. Kisah-kisah jenakanya sangat digemari berbagai kalangan. Hebatnya, kisah lucu Abu Nawas seakan tak pernah habis.

Selalu ada cerita lucu yang baru hingga akhirnya ia dikenal dengan seorang humoris yang sangat cerdas. Bahkan disebutkan, Khalifah Harun Al-Rasyid yang dikenal sebagai khalifah Bani Abasiyah paling pintar, tak pernah berhasil mengalahkannya.

Syair I’tiraf sendiri mengandung kejenakaan, tapi bukan senda-gurau. Simak saja liriknya: “Aku bukanlah ahli surga firdaus, tapi bukan pula orang yang kuat menahan panas api neraka”. Kalau diartikan secara harfiah, doa itu memang agak lucu: masuk surga tak pantas, masuk neraka tidak kuat.

Meski jenaka, dalam literatur Islam, Abu Nawas lebih dikenal sebagai tokoh sastra dari pada seorang ‘pelawak’. Lebih dari itu, sebuah sumber juga menyebutkan, ternyata petualangan Abu Nawas bukan dengan Harun Al-Rasyid, melainkan dengan khalifah setelahnya, Muhammad Al-Amin, putra Harun. Bahkan ada yang mengatakan, Abu Nawas tidak pernah bertatap muka dengan Harun Al-Rasyid.

Terlepas dari mana yang benar, yang jelas Abu Nawas dikenal sebagai sastrawan dan penyair terhebat pada masanya. Bahkan sejarahwan Ibnu Arabi mengatakan, “Telah aku bandingkan syair Abu Nawas dengan yang lain, ternyata tidak aku temukan syair seindah miliknya”.

Tidak banyak karya Abu Nawas yang bisa ditemukan. Pasalnya, lembaran-lembaran syairnya dibakar habis setelah ia bertobat.

“Aku takut setalah aku mati nanti, masih tersisa satu dari syairku. Oleh karena itu aku membakarnya” kata Abu Nawas ketika ditanya oleh salah seorang temannya. Apalagi Abu Nawas sendiri tidak pernah mengumpulkan syair-syairnya.

Wallahu a’lam.
 
 
Semoga bermanfaat.

7 komentar: