Pemimpin tidak perlu pandai, cerdas dan paham agama, yang penting bagaimana dia bisa tampil “agamis” dalam kehidupan sehari-hari karena orang tidak akan menanyakan tentang kemiskinan dan ketidakadilan tapi orang menyakan bagaimana “keshalehan” pemimpinnya. Maka berlomba-lomba lah pemimpin daerah membuat acara" seremonial agama, pengajian besar"an dan membangun mesjid besar dan megah, karena memang itu yang bisa dijadikan sarana untuk menutupi ketidakmampuan mereka dalam memimpin.
Masyarakat yang protes dan tidak sepaham dengan mereka diberi lebel “Penentang Syariat Islam”, atau “Penentang Hukum Allah”, itulah yang dipraktekkan oleh Arab Saudi sejak Negara ini didirikan.
Di Arab Saudi, perbedaan dirubah dari rahmat menjadi bala. Apapun yang tidak sesuai dengan paham wahabi akan digusur dan dimusnahkan. Pada akhirnya sikap kritis sebagai sifat dasar manusia kian lama kian melemah dan pada akhirnya hilang sama sekali.
Dalam Sistem Sekuler Terselubung ulama diberi tempat terbatas, hanya mengisi ceramah" agama, pengajian dan membina pasantren dalam ruang lingkup terbatas. Ketika ulama yang memiliki kemampuan mempimpin mencoba untuk mengubah keadaan agar menjadi lebih baik, maka secara serentak, akur tanpa sikap kritis mereka berteriak,
”ULAMA JANGAN BERPOLITIK”.
Kalau ditanya darimana sumber ucapan tersebut, mereka tidak bisa menjawab, yang penting ulama tidak boleh berpolitik.
Apakah ummat Islam tidak sadar bahwa kata-kata “Uama Tidak Boleh Berpolitik” itu adalah pesan" yang di ciptakan oleh Kaum Orientalis yang telah meneliti ratusan tahun bagaimana cara melemahkan ummat Islam. Cara paling mudah adalah membatasi orang-orang yang paham agama dalam sebuah kerangkeng, sehingga mereka tidak bebas mengatur masyarakat.
Orang yang suka berteriak, “Ulama Jangan Berpolitik” barangkali lupa membaca sejarah Islam. Orang-orang yang mengisi pemerintahan di zaman Khulafaur Rasyidin kesemuananya adlh orang" yang paham agama.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar