Kamis, 18 Januari 2018

Kiai Kholil Bangkalan

Sepotong Cerita Kiai Kholil di Banyuwangi
Perkembangan pesantren di Nusantara ini, tidak terlepas dari nama Syaikhona Kholil Bangkalan (1820-1925). Banyak para pendiri pesantren di awal abad ke-20 yang pernah nyantri kepada putra Kiai Abdul Latif tersebut. Sebut saja KH. Hasyim Asyari pendiri Pesantren Tebuireng, KH. As’ad Syamsul Arifin pengasuh Pesantren Sukerojo, KH. Abdul Karim pendiri Pesantren Lirboyo, dan banyak lagi lainnya.

Keilmuwan dan keberkahan hidup Kiai Kholil tersebut, tentu tak terlepas dari jasa para guru-gurunya yang telah mendidik dan membinanya. Tak hanya satu dua orang guru saja yang telah disesap ilmu dan doanya oleh Kiai Kholil. Ada puluhan, mulai dari Madura, Jawa hingga di Makkatul Mukarromah.
Namun, ada satu nama dan memiliki peran yang cukup signifikan dalam menentukan karir intelektual Kiai Kholil. Ia adalah KH. Abdul Basyar (w. 1915), pengasuh Pesantren Jalen, Genteng, Banyuwangi. Di pesantren yang kini berubah nama menjadi Al-Ashriyah inilah, Kiai Kholil menuntut ilmu sebelum berangkat ke Arab.

Tak ada catatan berapa lama Kholil muda itu berguru ke kiai yang asalnya dari tatar Pasundan tersebut. Dalam catatan Saifur Rahman (Surat Kepada Anjing Hitam), menyebutkan Kiai Kholil belajar di Banyuwangi sebelum tahun 1859. Kiai Kholil belajar di tanah Jawa kurang lebih selama tujuh tahun (1852-1858). Namun, Kholil tak hanya belajar di Banyuwangi. Ada beberapa pesantren lainnya. Mulai dari Pesantren Langitan (KH. Muhammad Nur), Pesantren Cangaan, Bangil (KH. Asyik), Pesantren Darussalam Kebon Candi (Kiai Arif), dan Pesantren Sidogiri. Hanya di Pesantren Langitan saja yang ada catatan waktunya, yaitu 3 tahun. Yang lainnya ditempuh pada 4 tahun yang tersisa.

Selama nyantri di Kiai Basyar ini, Kholil tak hanya mengaji. Tapi juga menjadi buruh pemetik kelapa kepada kiainya tersebut. Setiap 80 pohon, Kholil mendapatkan upah sebesar 3 Sen. Akan tetapi, uang tersebut tak pernah ia pergunakan. Ia kumpulkan upahnya tersebut, di dalam sebuah kotak dan dititipkan pada gurunya tersebut.
Sedangkan untuk kebutuhan lainnya, Kholil menjadi buruh serabutan. Cukup sekedar untuk dapat makan. Mulai dari buruh tani, mencuci hingga ikut memasakkan orang.
Setelah dirasa cukup belajar pada Kiai Basyar, ia berpamitan untuk melanjutkan pendidikannya ke Mekkah. Saat itu, Kiai Basyar mengembalikan uang tabungan upah hasil memetik kelapa kepadanya. Awalnya, Kholil menolaknya karena ia telah niat untuk mensedekahkannya pada gurunya tersebut. Namun, Kiai Basyar malah mengasihkannya kembali sebagai ongkos ke tanah suci.
Mencermati kisah Raden Demang Panji Nagara – sebagaimana dikupas oleh Henri Chambert Choir dalam buku Naik Haji di Masa Silam – yang naik haji pada 1953, ongkos untuk pergi ke tanah suci cukup mahal. Untuk ongkos naik kapal dan sewa kabin saja, yang termurah 88 Pasmat atau setara 88 Ringgit. Belum lagi biaya hidup selama perjalanan yang bisa menelan waktu lebih dari tiga bulan. Dengan demikian, maka besar artinya upah yang diberikan kepada Kiai Kholil untuk bekal ke tanah suci.

Menghitung besaran upah yang dikumpulkan dan dibandingkan dengan ongkos naik haji, mungkin kita bisa memprediksi seberapa lama Kiai Kholil nyantri di Banyuwangi. Diandaikan saja ongkos yang dibawa selama perjalanan adalah 100 ringgit, maka Kiai Kholil membutuhkan setidaknya 3.300 pohon kelapa untuk dipanen.
Tak ada catatan berapa banyak pohon kelapa milik Kiai Basyar. Hanya ada keterangan kebunnya amat luas. Sebut saja seribu pohon yang dimiliki oleh Kiai Basyar, maka setidaknya butuh 3 kali panen. Jika rentang tiap panen butuh 4 bulan, maka butuh waktu satu tahun bagi Kiai Kholil untuk mencapai targetnya.

Mengingat tradisi pesantren saat itu, tentunya tak hanya Kholil yang menjadi buruh pemetik kelapanya Kiai Basyar. Akan ada buruh-buruh lain dari santri yang lain. Jika probabilitas ini dimasukkan juga, maka akan lebih lama lagi bagi Kholil tinggal di Banyuwangi. Bakal lebih dari setahun.

Hitungan tersebut, hanya kalkulasi kasar. Namun yang perlu digarisbawahi dari uraian tersebut, fase tinggal di Banyuwangi merupakan fase penting. Karena dari fase inilah, menentukan Kholil untuk melanjutkan pendidikannya ke Mekkah. Karena, saat itu, Mekkah menjadi pusat keilmuwan dan legetemasi keulamaan dari segala penjuru dunia Islam. Termasuk di Nusantara. Wallahu’alam!

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar