Kita umat Islam prihatin melihat status atau tulisan mereka di jejaring
atau media sosial Facebook seperti yang terungkap dalam gambar di atas
karena mereka tampaknya sesuai dengan nubuat Rasulullah bahwa kelak akan
bermunculan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari
bani Tamim yang karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah
sehingga mereka terjerumus kesombongan dan menganggap bahwa mayoritas
kaum muslim (as-sawadul a’zham) telah rusak padahal mereka sendirilah
yang rusak
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah
bin Qa’nab; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari
Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian juga
diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail bin
Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: Apabila ada seseorang yang berkata;
‘Celakalah (rusaklah) manusia’, maka sebenarnya ia sendiri yang lebih
celaka (rusak) dari mereka. (HR Muslim 4755)
Dalam gambar di atas
mereka menganggap atau menuduh umat Islam pada umumnya yang dalam
perkara aqidah atau i’tiqod menisbatkan atau menyandarkan kepada Imam
Abul Hasan al-Asy'ari (w.324 H/936 M) telah rusak atau telah sesat
karena dianggap atau dituduh menyelisihi ahlus sunnah.
Pada
kenyataannya yang dimaksud oleh mereka sebagai AHLUS SUNNAH adalah AHLI
(MEMBACA) SUNNAH atau sabda Rasulullah yakni orang-orang yang menemukan,
membaca, menterjemahkan dan memahami sunnah atau sabda Rasulullah
secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri.
Mereka meneladani ahli (membaca) hadits mereka, Al Albani yang
mengatakan , “Saya bukan ahli hadits penghafal, saya ahli hadits kitab.”
sebagaimana yang telah disampaikan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/10/14/ahli-membaca-had…/
Jadi yang dimaksud dengan ahli hadits adalah ahli (membaca) hadits
bukan ahli hadits sebenarnya yang menghafal dan menerima hadits dari
lisan ahli hadits sebelumnya secara turun temurun sehingga tersambung
sampai ke lisannya para perawi yang meriwayatkan lisan atau sabda
Rasulullah.
Dalam ilmu musthalah Hadits jika ada perawi yang
kualitas hafalannya buruk (sayyi’ al-hifdzi) maka status haditsnya
adalah dlaif, bukan perawi sahih
Demikian juga hasil takhrij yang
dilakukan oleh ahli (membaca) hadits mereka, Al Albani yang tidak
didasari dengan ‘Dlabit’ (akurasi hafalan seperti yang dimiliki oleh
para al-hafidz dalam ilmu hadits) juga sudah pasti lemah dan banyak
kesalahan.
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya
mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama
dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah
pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka
menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai
orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi
yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang
mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para
ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam
riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan
semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Salah satu ciri
khas mereka adalah mereka berpegang pada sunnah atau sabda Rasulullah
atau dalil (nash) secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan
makna dzahir.
Mereka mengatakan bahwa “Rasulullah sendiri yang
mengatakan” namun pada kenyataannya adalah perkataan mereka sendiri yang
menterjemahkan dan memahami sabda Rasulullah selalu dengan makna dzahir
sehingga terjerumus memfitnah Rasulullah sebagaimana yang telah
disampaikan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/sebagai-kata-rasulullah/
Asy'ariyah maupun Maturidiyah memang bukan dikatakan AHLUS SUNNAH
tetapi AHLUS SUNNAH wal JAMA'AH karena kata SUNNAH dalam "AHLUS SUNNAH"
ditinjau dari sudut tata bahasa kata SUNNAH di sini belum menunjukkan
sifatnya.
Dalam kamus bahasa Arab dapat dengan mudah kita ketahui
bahwa arti kata SUNNAH adalah “Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang
jelek”.
Pengertian SUNNAH ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji atau tidak.
Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan dinamai SUNNAH, walaupun tidak baik.
Sedangkan AHLUS SUNNAH wal JAMA'AH, kata JAMA'AH menerangkan atau
mensifatkan kata SUNNAH maknanya adalah AHLUS SUNNAH sebagaimana yang
diikuti oleh as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Para
ulama terdahulu menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunnah wal
Jama’ah adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari (Asy’ariyah) dan Abu
Manshur al-Maturidi (Maturidiyah) radhiyallaahu ‘anhumaa sebagaimana
yang telah disampaikan pula oleh para ulama pada zaman sekarang pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/hasil-muktamar-di-chec…/
“Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah wal-Jama’ah, dan
mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur
al-Maturidi radhiyallaahu ‘anhumaa (semoga Allah ridha kepada keduanya)”
(Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi
al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah
tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama
jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia
menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil
perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum
(yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas
kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena
itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad
al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid,
at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam
Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Mayoritas kaum muslim
(as-sawadul a’zham ) pada masa generasi Salafush Sholeh adalah
orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni
para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in.
Contoh yang menyempal
keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada
masa itu adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed
dari bani Tamim.
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk
Najed dari bani Tamim adalah orang-orang yang memahami Al Qur’an dan As
Sunnah secara otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri
sehingga mereka terjerumus kesombongan sebagaimana perlakuan Dzul
Khuwaishirah terhadap Rasulullah.
Dzul Khuwaishirah tokoh
penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk salaf / sahabat
(bertemu dengan Rasulullah) namun tidak mendengarkan dan mengikuti
Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri
sehingga menjadikannya sombong dan durhaka kepada Rasulullah yakni
merasa lebih pandai dari Rasulullah sehingga berani menyalahkan dan
menghardik Rasulullah, “Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil”.
Maka Rasulullah berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil
kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami
keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. (HR Bukhari 3341)
Begitupula orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah (meneladani tokoh
panutan mereka yang menyalahkan Rasulullah) berdasarkan Al Qur’an dan As
Sunnah yang dipahami oleh mereka secara otodidak (shahafi) menurut akal
pikiran mereka sendiri, mereka suka mencela, menyalahkan, menganggap
sesat mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) sehingga mereka
menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul
a’zham) yang disebut dengan khawarij.
Asal kata khawarij adalah
dari akar kata kha-ra-ja. Ia adalah bentuk jama’ dari kharij, yaitu isim
fa’il dari kata kharaja yang memiliki arti keluar.
Bahkan oleh
karena kesalahpahaman mereka sehingga mereka bersikap takfiri yakni
mengkafirkan umat Islam dan berujung menghalalkan darah atau
membunuhnya.
Sedangkan pada masa kemudian (khalaf) atau masa
sekarang, mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) adalah bagi siapa
saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Memang ada mazhab selain yang empat, namun pada masa sekarang sudah
sulit ditemukan ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam
mazhab selain yang empat sehingga tidak mudah untuk menjadikannya tempat
bertanya.
Sebagaimana pepatah mengatakan “malu bertanya sesat di
jalan” maka kesesatan dapat timbul dari keengganan untuk bertanya
kepada orang-orang yang dianugerahi karunia hikmah oleh Allah Azza wa
Jalla.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan
mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya
telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf
[7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah
para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan
penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.
Imam Asy’ari bermazhab Imam Syafi’i dan Imam Maturidi bermazhab Imam
Hanafi mendalami dan meletakkan dasar-dasar dalam perkara aqidah atau
i'tiqod
Dalam perkara aqidah atau i’tiqod tidak ada perbedaan di
antara mazhab yang empat karena i’tiqod bukanlah masalah yang bersifat
furu’iyyah.
Kesalahpahaman dalam i’tiqod menyebabkan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.
Mereka yang mengaku sebagai ahlus sunnah atau kadang mengaku mengikuti
Imam Ahmad bin Hambal pada kenyataannya adalah mereka mengikuti paham
Wahabisme yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim,
Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman ulama
panutannya, Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat.
Memang salah satu
ciri khas para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu
Taimiyyah dalam perkara aqidah yakni dalam memahami apa yang telah Allah
Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir
atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir.
Ibnu Taimiyah
dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz
(makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab.
Bahkan Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut
yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurutnya dengan adanya
majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan
hadist dengan makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada
http://hanifnurfauzi.wordpress.com/…/belajar-ushul-fiqh-ma…/
Jadi jelaslah bahwa mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah pengikut
Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang awam
karena ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj
Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih
dikenal dengan Ibn al Jawzi memberikan pedoman cara menghadapi ayat-ayat
mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya
***** awal kutipan ******
bahwa sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna
dzahirnya jika itu dimungkinkan namun jika ada tuntutan (kebutuhan)
takwil maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam
makna majaz (metaforis atau makna kiasan).
***** akhir kutipan ******
Jadi kesimpulannya bahwa jika dipahami dengan makna dzahir akan
mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak patut maka pasti ayat-ayat
mutasyabihat tersebut harus dipahami dengan makna majaz (metaforis atau
makna kiasan) karena pilihannya hanya dua makna dzahir atau makna majaz.
Oleh karenanya mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak
takwil dengan makna majaz (makna kiasan) yang didalami dalam ilmu
balaghah maka dapat termasuk orang-orang yang berpendapat, berfatwa,
beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga mereka akan sesat dan
menyesatkan.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwais
berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari
bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah
tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi
Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah
tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu,
mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)
Ibn al Jawzi secara
khusus membuat kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih bi-akaffi at-tanzih
untuk menjelaskan kesalahpahaman tiga ulama yang semula bermazhab
dengan Imam Ahmad. Contoh terjemahannya pada
https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/dafu-syubah-imam…
Ibn al Jawzi berkata, “sementara tentang kepala mereka berkata: “Kami
tidak pernah mendengar berita (nash) bahwa Allah memiliki kepala”
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa mereka tidak puas dengan hanya
mengatakan “Sifat Fi’il” (sifat perbuatan) saja bagi Allah hingga mereka
mengatakan “Sifat Dzât”
Kita mengetahui “Sifat Fi’il” (sifat
perbuatan) bagi Allah seperti Maha Melihat, Maha Mendengar namun
terlarang mensifatkan DzatNya seperti Allah memiliki wajah, pinggang,
dua mata, dua tangan dan keduanya kanan dan lain lainnya karena tidak
ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Jadi mereka yang mengaku mengikuti manhaj Salaf atau kadang mengaku
ahlus sunnah namun pada kenyataannya mereka melanggar larangan
Rasulullah yakni larangan untuk menanyakan atau memikirkan DzatNya
sebagaimana yang telah disampaikan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/bertanya-tanpa-berpikir/
Rasulullah bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah“.
Paham Wahabisme dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi sebagaimana contoh informasi resmi dari
http://saudiembassy.net/islam
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad
bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of
the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to
the original and undefiled form of Islam”.
Berikut contoh kutipan
catatan kaki (footnote) ketika mereka menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255
sebagaimana termuat dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dicetak di Komplek
Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa menjadi
oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia sebagaimana yang telah
disampaikan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/02/17/tempat-telapak-k…/
***** awal kutipan ****
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu
Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih
terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak telapak Kaki-Nya.”
***** akhir kutipan ****
Begitupula dalam perkara aqidah, salah satu ustadz panutan mereka, Khalid Basalamah dalam sebuah video yang dipublikasikan di
http://www.youtube.com/watch?v=IxPYMh-KWFg
pada menit 02: 55 mengatakan bahawa, “Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa
Allah itu tidak kelihatan karena Allah terlalu besar untuk dilihat” dan
pada menit 03:35 mengatakan bahwa, “Ayat kursi berarti informasi
tentang pijakan kakinya Allah di singgasana”.
Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki seperti
Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua
kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan
ukurannya.”
Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut,
***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini
hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang
bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal
dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa
hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang
telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian
pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah
Adapun pemahaman
hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy
adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi
hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang
Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua
kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana)
mereka”.
***** akhir kutipan *****
Jadi hadits tersebut jika
tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya
kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.
Mereka
mengatakan bahwa “kaki gajah dan kaki semut tidak sama walaupun
sama-sama kaki namanya. Begitupula kaki meja dan kaki kamera yang untuk
sandaran juga tidak sama walaupun sama-sama kaki namanya” sebagaimana
yang dapat disaksikan dalam video pada
http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15.
Walaupun kaki manusia, kaki meja, kaki kursi, kaki kamera berbeda
bentuk dan ukurannya namun mempunyai sifat yang sama yakni bagian bawah,
untuk penopang (penyangga) sedangkan Allah Ta’ala “Laisa kamitslihi
syaiun” tidak serupa dengan makhlukNya dari sisi apapun.
Jadi
mereka mensifatkan yang tidak dilayak bagi Allah yakni sifat kaki, suatu
bagian yang menopang sesuatu yang mempunyai suatu bentuk serta ukuran
walaupun dikatakan bentuknya tidak serupa dengan makhlukNya sedangkan
bentuk dan ukuran adalah sifat makhluk bukan sifat Allah Ta’ala.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah
Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran,
batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang
besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti
mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas,
bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi
oleh arah)
Para pengikut paham Wahabisme yakni ajaran atau
pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab
terjerumus mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat adalah
karena “terhipnotis” perkataan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa
pemahaman (pendapat) yang disampaikannya adalah mazhab salaf dan mazhab
salaf itu pasti benar.
Mereka yang menisbatkan sebagai Salaf(i)
BUKAN mengikuti PEMAHAMAN Salafush Sholeh dan BUKAN berdasarkan Al
Qur’an dan As Sunnah namun mereka berdasarkan atau mengikuti PEMAHAMAN
MEREKA SENDIRI terhadap Al Qur’an dan As Sunnah secara otodidak
(shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah
disampaikan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/01/27/pemahaman-sendiri/
Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa
menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar,
maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).
Salah satu akibat mereka melanggar larangan Rasulullah adalah mereka bertuhan bukan kepada Allah Ta’ala.
Contohnya mereka bertuhan kepada sesuatu yang bertangan dua dan
kedua-duanya kanan akibat mereka selalu berpegang pada nash (dalil)
secara dzahir atau pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sehingga
salah memahami hadits shahih seperti
Dari Abdullah bin ‘Amr رضي
الله عنه ia berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah bersabda:
“Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah عزوجل (pada hari
kiamat) di atas mimbar-mimbar dari nur (cahaya) di sebelah kanan Ar
Rahman عزوجل dan KEDUA TANGAN-Nya adalah KANAN. Yaitu orang-orang yang
berlaku adil di dalam hukum mereka, dan pada keluarga mereka, dan pada
apa yang mereka pimpin”. (Hadits shahih riwayat. Muslim no 1827 dan
Nasaa-i no 5379 dan yang selain dari keduanya).
Jelas sekali
bahwa apa yang mereka sampaikan BUKAN aqidah atau PEMAHAMAN para Sahabat
(Salafush Sholeh) melainkan aqidah atau PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI
menurut akal pikiran mereka sendiri terhadap nash atau dalil yang mereka
baca.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam (Q.S. Al Imran [3] :
7), mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat selalu dengan makna dzahir
sehingga menimbulkan fitnah.
Fitnah mereka seolah-olah Rasulullah yang mengatakan Tuhan punya dua tangan dan kedua-duanya kanan.
Silahkan periksa tulisan salah satu ulama panutan mereka yang
menisbatkan atau melabeli pemahaman mereka sebagai pemahaman Salafush
Sholeh sebagaimana yang mereka publikasikan pada
http://moslemsunnah.wordpress.com/…/benarkah-kedua-tangan-a…
***** awal kutipan ******
Menurut Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari Salaful Ummah yaitu yang
terdiri dari para Sahabat, Taabi’in dan Taab’ut Taabi’in bersama dengan
orang yang mengikuti mereka dari para Imam dan para Ulama dan seterusnya
dari zaman ke zaman sampai hari kiamat
***** akhir kutipan ******
Oleh karenanya untuk menangkal paham Wahabisme sebaiknya sejak dini
disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di
dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai sarana
mengenal Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang
mengikuti Imam mazhab yang empat yang bersumber dari Al Qur’an dan As
Sunnah.
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”, awal
beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama
makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi Allah dapat kita pergunakan sebagai sarana mengenal Allah.
Selain itu aqidatul Khomsin yang menguraikan 20 sifat yang wajib bagi
Allah dapat kita pergunakan sebagai batasan-batasan untuk dapat memahami
ayat-ayat mutsyabihat tentang sifat-sifat Allah.
KH Thobary
Syadzily salah satu cucu dari Syaikh Nawawi Al Bantani menyampaikan
bahwa salah satu faedah Aqidatul Khomsin adalah supaya sah melakukan
amal-amal sholeh di dunia sebagaimana yang telah diarsip pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/08/07/50-aqidah/
Imam Al Ghazali berkata : “Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengenal Allah yang wajib disembah”
Imam sayyidina Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhu berkata:“Barang
siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia
tidak mengetahui (belum mengenal) Tuhan yang wajib disembah (belum
beriman kepada-Nya)”
Berdasarkan penjelasan di atas maka mereka
yang belum mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya sehingga dapat
berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza
wa Jalla.
Mereka yang belum dapat mengenal Allah dengan sebenar
keagungan-Nya karena mereka memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa
Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan makna dzahir sehingga mereka
terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi.
Contohnya pertanyaan kaum Yahudi dalam riwayat berikut
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu
‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata,
“Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai
Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh
bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai
di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah
berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan
firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan
sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari
6865, 6897)
Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah
dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta
(Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman
Allah:
“وما قدروا الله حق قدره ”
(“Dan tidaklah mereka dapat mengenal
Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti
nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Bahkan mereka menganggap “telah kafir” bagi umat Islam yang tidak mau
mengikuti pemahaman mereka yang “tanpa perlu takwil” alias “tanpa
takwil” yakni memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk
diriNya selalu dengan makna dzahir karena dianggap telah mengingkari
sifat-sifat Allah sebagaimana yang mereka publikasikan pada
http://almanhaj.or.id/…/slash/0/mengingkari-tauhid-asma-wa…/
***** awal kutipan ****
Mengingkarinya setelah mengetahui bahwa itu memang benar adanya. Mereka
mengingkarinya secara sengaja, dan mengajak yang lain untuk
mengingkarinya. Maka mereka yang berlaku seperti ini telah kafir karena
mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya. Padahal mereka
mengetahui hal tersebut tanpa perlu takwil-nya.
***** akhir kutipan *****
Kaum muslim yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang
empat tentu bukanlah mengingkari sifat-sifat Allah atau bukanlah
mengingkari apa yang telah Allah tetapkan untuk diriNya namun
mengingkari memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya
selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan
makna dzahir karena akan terjerumus kekufuran dalam i’tiqod.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan
al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha
Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah
aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadits mutasyabihat,
karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli
hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat
Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat)
memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami
oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan
istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan,
mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Mereka mengklaim bahwa manhaj salaf atau Salafush Sholeh bermanhaj isbat
yakni mengisbatkan (menetapkan) semua sifat-sifat Allah dengan
mengetahui maknanya sesuai makna dzahir dan Salafush Sholeh hanya
menafikan pengetahuan tentang keadaan sifat tersebut (nafi ilmul kaif)
Pada kenyataannya, Salafush Sholeh bukanlah nafi ilmul kaif melainkan
nafi aslul kaif yakni menafikan akan adanya keadaan kaif itu sendiri
yang di-nisbat-kan pada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Menafikan
aslul kaif berarti mencegah orang dari menggambarkan lafaz-lafaz ayat
sifat tersebut dengan maknanya dari sudut bahasa atau makna dzahir
karena ketika seseorang mendengar lafaz-lafaz ayat sifat akan terus
menggambarkan sifat-sifat tersebut dengan makna dzahir maka dia akan
terjerumus kepada paham tajsim atau menjisimkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala
Salafush Sholeh bukanlah menetapkan berdasarkan makna
dzahir (isbat makna dzahir) melainkan menetapkan berdasarkan lafaznya
(isbat lafaz) dan tafwidh yakni menafikan makna secara bahasa dan
menyerahkan maknanya kepada Allah.
Salasush Sholeh mengatakan,
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin
Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di
dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku:
“Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir“
Imam Sufyan
bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan: “Setiap sesuatu yang Allah
menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya
(tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah
radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari
ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu
tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat,
mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Jadi kalau mereka konsisten dan benar mengikuti salaf maka tidak boleh
menterjemahkan, menafsirkan atau memaknai apa yang disifati oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya ke selain daripada
bahasa Arab harus membiarkan sebagaimana lafaznya.
Imam Sufian
bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan
perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang
menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan
(makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’
wa As-Sifat: 314).
Begitu juga dengan apa yang diriwayatkan oleh
Imam Az-Zahabi dari perkataan Ibn Suraij: “Tidak boleh menterjemahkan
sifat-sifatNya (yang mutasyabihat tersebut) ke dalam bahasa selain
daripada bahasa Arab”.
Jadi ada dua cara dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terkait sifat Allah yang ditetapkanNya yakni
1. Cara yang dipergunakan ulama salaf (terdahulu) pada umumnya menggunakan TAKWIL IJMALI (ringkas dan menyeluruh),
Yakni beriman kepada lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan
lain lain namun tidak meng-kaif atau tidak membagaimanakan istiwa, yadd,
ain, janbun dan lain lain maksudnya tidak memaknakan istiwa, yadd, ain,
janbun dan lain lain dengan makna dzahir namun membiarkan sebagaimana
lafaznya dan menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala
2. Cara
yang digunakan oleh ulama khalaf (kemudian) untuk menjawab pertanyaan
orang-orang yang suka menggunakan akal pikirannya sendiri yakni TAKWIL
TAFSILI (memalingkan dari makna dzahir)
Yakni beriman pada
lafaz-lafaz seperti istiwa, yadd, ain, janbun dan lain lain dan
memahaminya menggunakan ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti
nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya
karena Hadits dan “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat
[41]:3)
Berikut contoh cara memahami TAKWIL IJMALI dan TAFSILI,
Si A berkata bahwa gadis itu cantik bagaikan bulan. Sore itu bulan masuk ke warung makan.
Takwil Ijmali “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan
“Bulan masuk ke warung makan” tetapi saya serahkan makna sebenarnya
perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah yang mengetahuinya
Takwil Tafsili “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A
mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tapi makna kata bulan tersebut
bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam,
tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.
Jadi dalam memahami sifat Allah yang ditetapkanNya boleh menggunakan
takwil ijmali atau takwil tafsili karena takwil ijmali dengan takwil
tafsili adalah sejalan atau tidak bertentangan yakni sama-sama
memalingkan dari makna dzahir.
Imam Sayyidina Ali ra mengatakan
bahwa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda dan
anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa
Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian
golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali
menjadi orang-orang kafir (kufur dalam i’tiqod)”. Seseorang bertanya
kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah
karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn
Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir (kufur dalam i’tiqod)
karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu
wa Ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan
anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi(w. 725 H) dalam
Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Syaikh Al-Akhthal
dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin”
menyampaikan bahwa mereka yang men-jisim-kan Allah atau mereka yang
mensifatkan Allah dengan angota-angota badan walaupun dikatakan tidak
serupa dengan anggota badan makhlukNya adalah hukumnya ‘aashin yakni
telah berbuat DURHAKA kepada Allah.
***** awal kutipan *****
–
Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
mempunyai jisim (bentuk seperti tangan, kaki) sebagaimana jisim-jisim
(bentuk tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya kafir
(orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiapa mengi’tiqadkan
(meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (bentuk
seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (bentuk tangan,
kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang
telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
– I’tiqad
yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa
sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala
kecuali Dia.
***** akhir kutipan *****
Oleh karenanya para
ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa orang-orang yang selalu
memahami dengan makna dzahir seperti memaknai istawa dengan istaqarra
(menetap atau bertempat) sehingga menetapkan arah dan tempat bagi Allah
adalah mereka yang menghina atau durhaka kepada Allah.
Contohnya
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar
al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj menuliskan:
***** awal kutipan *****
“Jangan tertipu dengan pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap kesunnahan
ziarah ke makam Rasulullah, karena sesungguhnya dia adalah manusia yang
telah disesatkan oleh Allah.
Penghinaan Ibnu Taimiyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh.
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.
Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki,
mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.
Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah
membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah
menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang
dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
***** akhir kutipan *****
Berdasarkan pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas bahwa ulama
panutan mereka, Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan oleh banyak ulama maka
perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Beliau.
Contohnya ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W
841 H). Beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya
Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul
Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal
ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’
Akibatnya para pengikut paham Wahabisme penerus kebid’ahan Ibnu
Taimiyyah mengungkapkan kekhawatiran atas fatwa sejak zaman dahulu kala
tersebut pada
http://faisalchoir.blogspot.co.id/…/ibnu-taimiyah-dikafirka…
***** awal kutipan *****
Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab
tersebut adalah Fatwa yang menyebar di khalayak Umum saat itu tentang
kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah sebagai Syaikhul Islam
dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.
Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran terhadap pengikutnya.
***** akhir kutipan ****
Sebagai pembelaan terhadap ulama panutan mereka dengan mengutip tulisan
Al Hafizh as-Sakhawi dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736
menukil pendapat gurunya, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani , “Beliau
(Ibnu Taimiyyah) adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan” sebagaimana
tulisan sejenis pada
http://abul-harits.blogspot.co.id/…/pembelaan-al-hafidz-ibn…
Namun mereka tampaknya kurang memperhatikan catatan penting Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab yang mereka kutip sendiri yakni
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه
“Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan
terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan
pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan
beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti
pendapatnya”.
Catatan penting tersebut bukanlah masalah furuiyyah
namun masalah pokok yakni aqidah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu
Hajar Al-Asqalani dalam Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah
Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155 sebagaimana yang dinformasikan pada
http://www.aswj-rg.com/…/pandangan-al-hafidz-ibnu-hajar-al-…
****** awal kutipan ******
Manusia terbagi menjadi beberapa kubu dalam menilai Ibnu Taimiyyah, ada
sebagian kelompok yang menisbatkan (pemahaman) Ibnu Taimiyyah terhadap
tajsim karena apa yang telah ia sebutkan dalam kitab al-Aqidah
al-Hamawiyyah dan al-Wasithiyyah dan selainnya, di antaranya : Ibnu
Taimiyyah mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan
wajah adalah sifat hakikat bagi Allah, dan sesungguhnya Allah bersitiwa
di atas Arsy dengan Dzat-Nya. Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan
melazimkan Allah memiliki batasan dan bagian, maka ia menjawab, “ Aku
tidak setuju batasan dan bagian termasuk kekhushusan jisim “. Maka yang
dicela adalah bahwa Ibnu Taimiyyah mengatakan batasan bagi Dzat Allah.
****** akhir kutipan ******
Jadi Ibnu Hajar Al-Asqalani pun menyampaikan ketidaksetujuannya
terhadap permasalahan pokok bukan furuiyah yakni dalam perkara aqidah
atau kebid’ahan Ibnu Taimiyyah yang mensifatkan Dzat Allah alias
meng-kaif-kan (membagaimanakan) Dzat Allah.
Oleh karenanya
ditengarai (diduga) kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan
Zionis Yahudi berupaya untuk menyesatkan umat Islam dengan menyodorkan
kitab-kitab Ibnu Taimiyyah kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad
bin Abdul Wahhab sehingga diberi julukan “duplikat (salinan) Ibnu
Taimiyyah” sebagaimana contoh informasi dari kalangan mereka sendiri
yang mengakui bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai imam mereka pada
http://rizqicahya.wordpress.com/…/imam-muhammad-bin-abdul-…/
***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini
melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang
silam.
Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.
Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya,
sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan)
Ibnu Taimiyah.
Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang
yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui metode otodidak
(belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam
mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai
modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri
oleh yang bersangkutan
***** akhir kutipan *****
Dugaan ini
perlu disampaikan karena para ulama terdahulu justru telah melarang
untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya
sebagaimana yang telah disampaikan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/kitab-taimiyyah-dilara…/
Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, ” Maka berhati-hatilah
kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan
muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang
yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah
menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan
menjadikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu
memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa
Al-Hadithiyyah : 203)
Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama
(NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari
meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri firqah
Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat serta
kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang
termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6 selengkapnya
pada
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/risalah-aswaja.pdf
Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil
permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat
Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu
bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia
telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan
dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari
penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya
jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga
berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari
Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta
kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 116)
Kontrofersi pemahaman Ibnu Taimiyyah lainnya dapat dibaca dalam tulisan yang kami arsip pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/kontrofersi-paham-taim…/
Jadi salah satu pokok permasalahan yang timbul dalam dunia Islam adalah
akibat mereka mengikuti pemahaman seorang ulama sebelum bertaubat.
Salah seorang pengunjung blog kami pada kolom komentar menyampaikan
sebuah tulisan berjudul “Taubatkah Ibnu Taimiyah ke dalam Aqidah
Asy’ariyah?” dari sebuah link yang kami arsip (simpan) dalam tulisan
pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/taubatkah-ibnu-taimiyy…/
Amat disayangkan kalau ulama panutan mereka Ibnu Taimiyyah dikatakan
tidak bertaubat dari pemahamannya yang selalu berpegang pada nash secara
dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir
Memang ada
yang mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyyah pada akhirnya melanggar perjanjian
taubatnya pada sidang pertama sehingga dilanjutkan sidang ke dua sampai
sidang ke empat hingga ia wafat dalam penjara pada malam hari tanggal
22, Dzulqo’dah tahun 728 H sebagaimana contoh kabar dari
http://www.muslimedianews.com/…/kisah-taubatnya-ibnu-taimiy…
Namun kami umat Islam berprasangka baik bahwa Beliau telah bertaubat dan semoga Allah Ta”ala menerima taubat Beliau.
Dalam nasehatnya Adz Dzahabi mengambarkan sikap Ibnu Taimiyyah sebelum
bertaubat yang suka menyalahkan dan mencela ulama-ulama sholeh terdahulu
yang tidak sepaham (sependapat) dengannya sebagaimana informasi yang
kami arsip (salin) pada
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/nasehat-adz-dzaha…
Adz Dzahabi (w 748 H) maupun Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) adalah
murid dari Ibnu Taimiyyah (W 728H) atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang
bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang
tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab)
dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul
Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Kitab-kitab Ibnu
Taimiyyah sebelum bertaubat maupun kitab Adz Dzahabi seperti Al ‘Uluw
maupun ringkasan kitab al ‘Uluw yakni Mukhtashar al ‘Uluw karya al
Albani menjadi pegangan bagi para pengikut Wahabisme penerus kebid’ahan
Ibnu Taimiyyah.
Muhammad Khalil Harras adalah salah satu penulis
penjelasan (syarah) kitab Aqidah Wasithiyah yang merupakan pemahaman
Ibnu Taimiyyah sebelum bertaubat yang diangkat kembali oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab.
Kitab syarah tersebut dicetak oleh Universitas
Islam Madinah dalam 176 halaman. Kemudian dicetak lagi dengan pembenahan
dan komentar dari Isma’il Al Anshoriy, dicetak di Riasah Al-Amaah
liidaratil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’ wad Dakwah wal Irsyaad dalam 187
halaman pada tahun 1403 H.
Selain Muhammad Khalil Harras penulis
penjelasan atau syarah kitab Aqidah Wasithiyah masih ada penulis-penulis
lain seperti Abdurrahman As-Sa’di, Ibnul Utsaimin, Shalih bin Fauzan
Al-Fauzan, Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani (lebih dari 15 penulis)
sebagaimana yang tercatat pada
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Aqidah_Al-Wasithiyah
Berikut kutipan tulisan ulama panutan mereka, Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin dari tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah
Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah) sebagaimana contoh yang termuat
pada
http://mahadilmi.wordpress.com/…/allah-turun-ke-langit-dun…/
**** awal kutipan ****
Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya
turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG, karena dalil yang
menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam
(dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist
tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama
dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’
dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan
Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah
lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk
melliputi ilmu Allah Ta’ala”
**** akhir kutipan ****
Pemahaman “tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” tentu bukanlah pemahaman
para Sahabat atau Salafush Sholeh namun pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum
bertaubat ketika beliau membaca dan menjelaskan hadits shahih berikut
“Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni
saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdo’a
kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu
niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya
akan Aku ampuni.” (HR Muslim 1261)
Berdasarkan pemahaman Ibnu
Taimiyyah tersebut, mereka mengatakan bahwa walaupun Tuhan mereka berada
atau bertempat atau menetap tinggi atau bahkan melayang tinggi di atas
‘Arsy (karena menafikan menempel di atas ‘Arsy) dan setiap sepertiga
malam terakhir turun ke langit dunia namun ‘Arsy tidak kosong
sebagaimana yang telah disampaikan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/akibat-bermazhab-otodid…
Ibnu Taimiyyah dipenjara oleh keputusan atau fatwa Qodhi empat mazhab
dengan menghadirkan kitab aqidahnya Ibnu Taimiyyah, Al-Wasithiyyah dan
dibacakan dalam persidangan yang kemudian diputuskan bahwa pemahaman
Ibnu Taimiyyah adalah sesat dan menyesatkan.
Habib Rizieq Shihab
ketika menjelaskan tentang firqah syiah dan wahabi bahwa selain
kebanyakan Wahabi bersikap Naashibah, banyak pula kalangan Wahabi saat
ini yang bersikap “Khawaarij” yang cenderung “Takfiirii” yaitu suka
mengkafirkan semua umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan
mereka seperti menganggap madzhab Asy’ari adalah bukan Aswaja bahkan
firqah sesat dan menyesatkan karena mereka berpegang kepada sikap
berlebihan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat sebagaimana yang
dipubllikasikan pada
http://www.habibrizieq.com/2015/03/syiah-vs-wahabi.html
Berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Sikap berlebihan Ibnu Taimiyyah pada akhirnya mengantarkannya ke
penjara pada tahun 726 H hingga wafat di tahun 728 H. Sultan Muhammad
bin Qolaawuun memenjarakannya di salah satu menara Benteng Damascus di
Syria berdasarkan Fatwa Qodhi Empat Madzhab Aswaja, yaitu :
1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi Bakar rhm.
3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.
Bahkan Syeikhul Islam Imam Taqiyuddin As-Subki rhm dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :
“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.
“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”
***** akhir kutipan ******
Selain qodhi empat mazhab di atas, berikut adalah nama-nama para ulama
yang hidupnya semasa dengan Ibnu Taimiyah (W 728 H) dan berdebat
dengannya atau yang hidup setelahnya dan membantah serta membuat
tulisan-tulisan untuk menjelaskan tentang kesesatan Ibnu Taimiyyah.
Mereka adalah para ulama dari empat madzhab; Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali:
1. Syekh Shalih ibn Abdillah al Batha-ihi, pimpinan para ulama di
Munaybi’ ar-Rifa’i, kemudian menetap di Damaskus dan wafat tahun 707 H.
Beliau adalah salah seorang yang menolak pendapat Ibnu Taimiyah dan
membantahnya seperti dijelaskan oleh Ahmad al-Witri dalam karyanya
Raudlah an- Nazhirin wa Khulashah Manaqib ash-Shalihin. Al Hafizh Ibnu
Hajar al ‘Asqalani juga menuturkan biografi Syekh Shalih ini dalam
ad-Durar al Kaminah.
2. Syekh Kamal ad-Din Muhammad ibn Abu al
Hasan Ali as-Siraj ar-Rifa’i al Qurasyi dalamTuffah al Arwah wa Fattah
al Arbah. Beliau ini semasa dengan Ibnu Taimiyah.
3. Qadli al
Qudlah (Hakim Agung) di Mesir; Ahmad ibn Ibrahim as-Surrruji al Hanafi
(W710 H) dalam I’tiraadlat ‘Ala Ibn Taimiyah fi ‘Ilm al Kalam.
4.
Qadli al Qudlah (Hakim Agung) madzhab Maliki di Mesir; Ali ibn Makhluf
(W 718 H). Beliau berkata: “Ibnu Taimiyah berkeyakinan Tajsim. Dalam
madzhab kami, orang yang meyakini ini telah kafir dan wajib dibunuh”.
5. Asy-Syekh al Faqih Ali ibn Ya’qub al Bakri (W 724 H). Ketika Ibnu
Taimiyah datang ke Mesir beliau mendatanginya dan mengingkari
pendapat-pendapatnya
6. Al Faqih Syams ad-Din Muhammad ibn ‘Adlan
asy-Syafi’i (W 749 H). Beliau mengatakan: “Ibnu Taimiyah berkata; Allah
di atas ‘Arsy dengan keberadaan di atas yang sebenarnya, Allah
berbicara (berfirman) dengan huruf dan suara”.
7. Al Muhaddits al
Mufassir al Ushuli al Faqih Muhammad ibn ‘Umar ibn Makki, yang lebih
dikenal dengan Ibn al Murahhil asy-Syafi’i (W 716 H) beliau membantah
dan menyerang Ibnu Taimiyah.
8. Syekh Ahmad ibn Yahya al Kullabi
al Halabi yang lebih dikenal dengan Ibn Jahbal (W 733 H). Beliau semasa
dengan Ibnu Taimiyah dan menulis sebuah risalah untuk membantahnya,
berjudul Risalah fi Nafyi al Jihah, yakni menafikan Jihah (arah) bagi
Allah.
9. Al Qadli Kamal ad-Din ibn az-Zumallakani (W 727 H).
Beliau mendebat Ibnu Taimiyah dan menyerangnya dengan menulis dua
risalah bantahan tentang masalah talak dan ziarah ke makam Rasulullah.
Dan masih banyak ulama lainnya sebagaimana yang terungkap dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/ahlussunnahbantah…
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Semoga bermanfaat.