Lucunya BANI TEKSTUAL (HABITAT KAUM ANTI TA'WIL)
Contoh :
"Orang yg masih ngerokok gk boleh ngimami sholat,,!!!"
"Betul itu, waktu ngimami tapi di luar imam silahkan bos, Haaa ha ha..."
"Haram!, mendoakan orang mati"
Sorang Kyai yang baru saja pulang dari kuburan kedatangan seorang pemuda HTI dengan gaya khasnya, jenggot kriting dan celana cingkrang.
Dengan gaya mengetes, si pemuda bertanya, “Pak Kiai, apa hukum mendoakan orang mati?”
“Haram!”
Si pemuda kaget. Jawaban Kiai Durrahman di luar dugaan.
“Alasannya, Kiai?”
“Islam mengajarkan, mendoakan orang harus yang baik-baik. Harusnya kita mendoakan orang banyak rezeki, sehat, atau panjang umur. Jangan sampai kita mendoakan orang mati, itu doa buruk.”
Si pemuda ngeloyor pulang.
Si pemuda kaget. Jawaban Kiai Durrahman di luar dugaan.
“Alasannya, Kiai?”
“Islam mengajarkan, mendoakan orang harus yang baik-baik. Harusnya kita mendoakan orang banyak rezeki, sehat, atau panjang umur. Jangan sampai kita mendoakan orang mati, itu doa buruk.”
Si pemuda ngeloyor pulang.
Simak teks arab dari Doa RASULULLAH Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada sahabat Ibnu Abbas Radhiallu'anhu :
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Ya ALLAH , buatlah dia menjadi Faqih di dalam Agama ini, dan ajarilah dia ilmu Ta'wil.
.
[HR. Bukhari : 75 & Muslim : 2475].
.
Dan di Shahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam kitabnya [Silsilah Ash-Shahihah : no. 2589]
Tahukah kalian wahai Bani Tekstual, jika ALLAH Ta'ala juga mengajarkan ilmu Ta'wil dengan tujuan mensucikan dirinya dari sifat Makhluk & memalingkan makna Dzahir
RASULULLAH Bersabda :
عَنْ ابِى هُريْرَةَ ، قَألَ : قَالَ رَسُولُ الله ( صلى الله عليه وسلم ) : ” إِن الله – عَزَّ وَجَلَّ – يَقُولُ يَوْمَ القِيَامَة : يَا بْنَ ادمَ ، مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِى. قَألَ : يَارَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَب العالَمِينَ ؟ قَالَ : َ امَا عَلمْتَ أَنَّ عَبْدى فُلألا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ ، امَا عَلمْتَ انَكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى عنْدَهُ ؟ يَا بْنَ آَدَمَ ، اسْتَطَعًمْتُكَ فَلَمْ تُطعمْنِى. قَألَ : يَارَب ، وَكَيْفَ أُطعمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَالمنَ ؟ قَألَ : أمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطعَمَكً عَبْدى فُلاَنو فَلَمْ تُطعِمْهُ ، أَمَاَ عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطعَمتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلكَ عنْدى ؟ يَا بْنَ اَدمَ ، اسْتًسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِى
قَالَ : يَارَبِّ ، كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ العالَمَيَنَ ؟ قَالَ :اسْتَسْقَاكَ عبْدِى فُلاَنو فَلَمْ تَسْقِ! أَمَاْ إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى لما
Sesungguhnya ALLAH (dalam hadits Qudsi) berfirman :
Hai Anak Cucu Adam, Aku sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku”
Lalu berkata (Anak Cucu Adam) :
Ya Robb, bagaimana aku menjenguk-Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?”
ALLAH menjawab :
Apakah engkau tidak mengetahui, sesungguhnya ada hamba-Ku Fulan sedang sakit tetapi engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau tahu sesungguhnya ketika engkau menjengukya Aku pun berada di sisinya
Kemudian ALLAH kembali berfirman :
Hai Anak Cucu Adam, Aku kelaparan tetapi engkau tidak memberi-Ku makan
Menjawab (Anak Cucu Adam):
Ya Robb, bagaimana aku memberi-Mu makan sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?
ALLAH menjawab:
Apakah engkau tidak mengetahui sesungguhnya kelaparan hamba-Ku si Fulan tetapi engkau tidak memberinya makan, tidakkah engkau tahu sesungguhnya ketika engkau memberinya makan di sana juga ada Aku
Lalu ALLAH berfirman :
Hai Anak Cucu Adam, Aku haus tetapi engkau tidak memberi-Ku minum
Menjawab (Anak Cucu Adam) :
Ya Robb, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?
ALLAH menjawab :
Engkau (tahu) hamba-Ku meminta minum kepadamu tetapi tidak engkau berikan kepadanya, tidakkah engkau tahu ketika engkau memberinya minum di sana pun ada Aku.
[HR. Muslim : 264]
TA'WIL IBNU ABBAS
IBNU ABBAS menta'wil Ayat :
ﻭَﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀَ ﺑَﻨَﻴْﻨَﺎﻩﺍَﺑِﺄَﻳْﺪٍ ﻭَﺇِﻧَّﺎ ﻟَﻤُﻮﺳِﻌُﻮﻥَ
Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.
[QS. Adz-Dzariyat : 47]
Kata ﺃَﻳْﺪٍ secara lahiriyah adalah Telapak Tangan atau tangan dari ujung jari jemari hingga lengan
ia bentuk jama’ dari kata
ﻳَﺪ
Baca Al Qamus al Muhith dan Taj al ‘Arus : 10/417.)Akan tetapi Ibnu Abbas Menta’wil arti kata TANGAN dalam ayat Adz-Dzariyat ini dengan KEKUATAN.
.
Apakah menurut anda IBNU ABBAS SESAT karna telah menta'wil karna tidak menetapkan Sifat yg ALLAH tetapkan.?
.
TA'WIL IMAM AHMAD BIN HANBAL
.
IMAM IBNU KATSIR mengatakan :
وكلامه في نفي التَّشبيه وتَرْك الخوضِ في الكلام والتّمسّك بما ورد في الكتاب والسنَّة عن النَّبي صلى الله عليه وسلَّم وعن أصحابه روى البيهقي عن الحاكم عن أبي عمرو ابن السمّاك عن حنبل أنَّ أحمد بن حنبل تأوّلَ قوله تعالى: (( وَجَاءَ رَبّكَ )) أنَّه جاء ثوابه ، ثمَّ قال البيهقي : وهذا إسناد لا غبار عليه
Dan ucapan beliau (imam Ahmad) tersebut adalah tentang menafikan tasybih dan menjauhi pembahasan mendalam (tentang ayat mutasyabihat) dan berpegang teguh terhadap al-Quran dan sunnah dari Nabi saw dan para sahabatnya. Al-baihaqi meriwayatkan dari al-Hakim dari Abi Amr Ibnu as-sammak dari Hanbal bahwasanya imam Ahmad bin Hanbal mentakwil firman Allah Swt :
Dan telah datang Tuhanmu dengan artian Telah Datang Pahala Tuhanmu.
Kemudian Al-Baihaqi mengatakan :
Isnad ini tidak ada debu sama sekali atasnya (Shahih dari Imam Ahmad Bin Hanbal).
[Al-Bidayah Wa An-Nihayah : Juz 10, Halaman 354]
TA'WIL IMAM AL-BUKHARI
.
Imam al Bukhari menta'wil firman Allah :
هُوَ ءَاخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا (هود: 56)
.Makna WAJAH ALLAH ini dita'wil oleh beliau dalam makna : Kerajaan dan Kekuasaan ALLAH.
.
[Lihat Shahih Al-Bukhari, Tafsir Surat Hud]
.
Terakhir adalah Ta'wil dari IBNU TAIMIYAH yang menta'wil Makna WAJAH ALLAH menjadi DZAT ALLAH
IBNU TAIMIYAH Berkata :
Maka kepada dasar inilah firman LAH Subhanahu Wa Ta’ala dikembalikan.!
"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Wajah-Nya".
Sebagaimana ayat :
"Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
.
Sesungguhnya kekalnya wajah ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala adalah kekalnya Dzat-Nya.”
[Majmu’ Fatawa : II/262]
Catatan :
Dalam kitab-kitab ilmu bahasa Arab, mulai dari kemunculannya hingga awal abad kelima, pengertian takwil hanya berkisar pada dua pengertian. Pertama, takwil bermakna, al-‘Aqibah wa al-Marja’ wa al-Mashir (akibat, tempat rujukan dan tempat kembali) lihat (QS. An-Nisaa [4]: 59), (QS. Al-‘A’raf [7]:53). Dan, kedua, takwil bermakna al-Tafsir wa al-Bayan (tafsir dan penjelasan) lihat (QS. Yusuf [12]: 36) dan (QS. Ali-Imran [3]: 7).
Syaikh Ibn Taimiyah (w. 728 H) menjelaskan pengertian takwil. Beliau mengutip pendapat ulama-ulama belakangan dari kalangan ahli fikih, ahli kalam, ahli hadis, dan tasawuf serta ulama-ulama yang sepakat dengan mereka. Mereka menyimpulkan, takwil adalah mengalihkan suatu lafaz dari makna yang rajih (kuat) kepada makna yang marjuh (lemah) karena ada alasan tertentu yang menyertainya.
Di dalam kitab al-Nihayah karya Ibn al-Atsir (w. 606 H), takwil adalah megalihkan teks lafaz dari makna asalnya (secara eksplisit) kepada makba yang memerlukan suatu indikasi. Jika indikasi itu tidak ada, maka makna eksplisit tidak boleh diabaikan. Oleh karenanya, hadis yang ditakwil adalah hadis yang tidak dapat dipahami secara tekstual akan tetapi harus dengan makna yang lain.
Selain ayat al-Quran, di dalam hadis pun kita sering sekali menemukan lafaz yang sukar untuk dipahami atau lafaz hadis yang mutasyabih (penjelasannya tidak konkrit). Hal ini mendorong para ulama untuk melakukan takwil dalam pemaknaannya. Tujuannya supaya terhindar dari makna yang bertentangan dengan makna ayat al-Quran atau hadis yang lain. Contohnya seperti hadis yang menjelaskan Allah Swt sakit.
عَنْ ابِى هُريْرَةَ ، قَألَ : قَالَ رَسُولُ الله ( صلى الله عليه وسلم ) : ” إِن الله – عَزَّ وَجَلَّ – يَقُولُ يَوْمَ القِيَامَة : يَا بْنَ ادمَ ، مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِى. قَألَ : يَارَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَب العالَمِينَ ؟ قَالَ : َ امَا عَلمْتَ أَنَّ عَبْدى فُلألا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ ، امَا عَلمْتَ انَكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى عنْدَهُ ؟ يَا بْنَ آَدَمَ ، اسْتَطَعًمْتُكَ فَلَمْ تُطعمْنِى. قَألَ : يَارَب ، وَكَيْفَ أُطعمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ العَالمنَ ؟ قَألَ : أمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطعَمَكً عَبْدى فُلاَنو فَلَمْ تُطعِمْهُ ، أَمَاَ عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطعَمتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلكَ عنْدى ؟ يَا بْنَ اَدمَ ، اسْتًسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِى
قَالَ : يَارَبِّ ، كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ العالَمَيَنَ ؟ قَالَ :اسْتَسْقَاكَ عبْدِى فُلاَنو فَلَمْ تَسْقِ! أَمَاْ إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى لما
Dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah Saw Bersabda dalam hadis qudsi, “Sesungguhnya Allah (dalam hadits Qudsi) berfirman: “Hai Anak Cucu Adam, Aku sakit tetapi kamu tidak menjenguk-Ku”. Lalu berkata (Anak Cucu Adam): “Ya Rab, bagaimana aku menjenguk Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?”
Allah menjawab: “Apakah engkau tidak mengetahui, sesungguhnya ada hamba-Ku Fulan sedang sakit tetapi engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau tahu sesungguhnya ketika engkau menjenguknya Aku pun berada di sisinya”. (Kemudian Allah kembali berfirman)
“hai anak cucu Adam, Aku kelaparan tetapi engkau tidak memberi-Ku makan”. Menjawab (Anak cucu Adam): “Ya Rab, bagaimana aku memberi-Mu makan sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?”
Allah menjawab: “Apakah engkau tidak mengetahui sesungguhnya kelaparan hamba-Ku si Fulan tetapi engkau tidak memberinya makan, tidakkah engkau tahu sesungguhnya ketika engkau memberinya makan di sana juga aka Aku”. (lalu Allah berfirman) Hai anak cucu Adam, Aku haus tetapi engkau tidak memberi-Ku minum”.
Menjawab (Anak Cucu Adam): “Ya Rab, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah menjawab: “Engkau (tahu) hamba-Ku meminta minum kepadamu tetapi tidak engkau berikan kepadanya, tidakkah engkau tahu ketika engkau memberinya minum di sana pun ada Aku”. (Hadis diriwayatkan Imam Muslim, Ibn Hibban dan al-Baihaqi).
Terkait hadis di atas Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Al-Thuruq al-Shahihah fi Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyah mengutip pendapat Ibn Jama’ah (w.727 H) yang berbendapat: “Ulama bersepakat dalam menakwilkan hadis tersebut, Karena Allah Swt menyatakan bahwa Diri-Nya sakit, meminta minum dan makan. Imam Nur al-Din al-Malaharawi al-Qari (w. 1014 H) berkata hadis: “Aku sakit namun kamu tidak menjengukku,” secara lafaz atau tekstual maknanya adalah Allah Swt sakit.
Menjenguk orang sakit :
Allah ta’ala memang terbiasa hadir bersama orang-orang yang sepi baik karena dizalimi atau sepi karena sakit. Pada mereka Allah hadir. Demikian Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam kitab Irsyadul Ibad mengutip hadits qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim sebegai berikut.
أخرج مسلم أن الله تعالى يقول يوم القيامة: يا ابن آدم مرضت فلم تعدني. قال: يا رب كيف أدعوك وأنت رب العالمين. قال: أما علمت أن عبدي فلانا مرض فلم تعدني. أما علمت أنك لو عدته لوجدتني عنده أي لوجدت عنده ثوبي الذي لا نهاية لعظمه
Pada hari Kiamat Allah menegur seseorang, “Wahai anak Adam. Saat Aku sakit, kenapa kau tidak menjenguk-Ku?” Orang itu menjawab, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku mendoakan-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan sekalian alam?” Allah menjawab, “Tidakkah kau tahu bahwa hamba-Ku si fulan itu sakit. Namun kau tidak menjenguk-Ku. Tahukah kau, kalau kau menjenguknya, kau akan mendapati Aku di sisinya.” Maksudnya, “Kau akan mendapatkan ganjaran-Ku yang tak bertepi saking banyaknya.” HR Muslim.
Catatan :
Monggo dibaca ini hasil riset manuskrip Imam Bukhari bahwa terbukti beliau juga menggunakan takwil.Nanti kalau masih kurang saya tambahkan lagi dari ulama salaf yang lain;
IMAM BUKHARI GAGAL PAHAM BAHASA ARAB: Benarkah Demikian?
Imam Bukhari (w. 256 H) adalah salah satu di antara para ulama hadits yang berkiprah pada abad ke-3 H. Ulama-ulama hadits yang hidup pada abad ke-3 Hijriyah di antaranya: Yazid bin Harun (w. 206 H), Abu Dawud at-Tayalisi (w. 204 H), Abd ar-Razzaq ibn Hammam (w. 211 H), Abu 'Ashim (w. 212 H), Yahya bin Ma'in (w. 233 H), Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Muhammad ibn Sa'ad (w. 230 H), Ali al-Madini (w. 234 H), Muhammad bin Abdullah bin Numair (w. 234 H), Abu Bakar bin Abi Syaibah (w. 235 H), Abdullah bin Amr al-Qawariri (w. 235 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 237 H), Harun bin Abdullah (w. 243 H), Ahmad bin Shalih (w. 248 H), ad-Darimi (w. 255 H), Abu Zur'ah (w. 264 H), Muslim bin Hajjaj (w. 261 H), Abu Dawud as-Sijistani (w. 275 H), Abu Hatim ar-Razi (w. 277 H), Abu Zur'ah ad-Dimasyqi (w. 281 H).
Karya Imam Bukhari yang paling otoritatif adalah kitab Shahih Bukhari dan kitab ini dapat dijadikan sebagai dokumen untuk meriset pola gramatika kebahasaan linguistik Arab yang berlaku pada abad ke-3 H (abad ke-9 M). Apakah pola gramatika bahasa Arab pada era tersebut amat penting untuk diteliti oleh para akademisi? Tentu saja hal itu tergantung bagaimana cara Anda membaca teksnya.
Studi kasus teks yang ditulis oleh Imam Bukhari tentang penggunaan term khusus yang ortografinya tertulis ملكه (mem-lam-kaf-ha') dapat dijadikan sebagai acuan. Redaksi teks lengkapnya sebagai berikut:
Namun, menurut peneliti dari kalangan Salafi terkait pola gramatika bahasa Arab abad ke-9 M., mereka menyatakan bahwa term tersebut tidak bisa dibaca "mulkahu", tetapi yang benar seharusnya dibaca "malikahu", yang menurutnya lebih tepat diartikan "Pemilik wajah-Nya." Menurutnya, ortografi tulisan yang dibaca الا ملكه (illa malikahu) itu maksudnya sama dengan الا ملك وجهه (illa malika wajhihi).
Argumen peneliti gramatika bahasa Arab abad ke-9 M. tersebut sangat penting dikritisi, terutama dalam konteks kajian linguistik Arab. Apakah pemahaman gramatika bahasa Arab yang diklaim sebagai ciri khas linguistik Arab abad ke-9 itu dapat dibenarkan secara ilmiah? Apakah dhamir ه (hu) pada term khusus ملكه yang dibaca "malikahu" itu merujuk pada term وجه (wajh) sebagaimana maksud redaksional teks asli yang ditulis oleh Imam Bukhari? Sang peneliti bermaksud menjelaskan bahwa redaksi teks yang tertulis الا ملكه dalam tulisan Imam Bukhari itu maksudnya sejajar dengan الا ملك وجهه (illa malika wajhihi). Menurut saya, tentu saja hal ini merupakan pemahaman bahasa Arab yang "ungrammatical" dan tidak umum. Bahkan penjelasan الا ملك وجهه ("illa malika wajhihi") itu sendiri merupakan pemahaman ta'wil gaya baru. Pemahaman ta'wil gaya baru sebenarnya merupakan upaya pemalingan makna "dhahir" dari redaksi aslinya dengan cara menambahkan kata lain yang diklaim untuk memperjelas maksudnya. Dengan kata lain, ortografi tulisan ملكه (mem-lam-kaf-ha') dalam redaksional Imam Bukhari yang ternyata ditafsirkan ملك وجهه ("malika wajhihi") itu sebenarnya juga ta'wil. Term ملكه (mem-lam-kaf-ha') bukan dibaca "malikahu" sesuai tulisannya, tetapi ditafsirkan menjadi ملك وجهه ("malika wajhihi") dengan menambahkan kata lainnya. Cara "membaca" ortografi tulisan ملكه tentu saja maksudnya berbeda dengan cara "menafsir" tulisan ملكه tersebut dengan mengubahnya menjadi frase ملك وجهه (malika wajhihi), dan "penyisipan kata" وجه (wajh) pada frase tersebut merupakan pengalihan makna terhadap redaksional teks dari aslinya; inilah yang disebut sebagai ta'wil. Selain itu, term "wajhahu" (wajah-Nya) dalam ayat Quran tentu saja berbeda jauh dari term "malikahu" (pemilik-Nya), maka perubahan dari kata وجهه ("wajhahu") menjadi frase ملك وجهه ("malika wajhihi") adalah ta'wil itu sendiri, dan hal ini tentu saja merupakan jenis ta'wil secara bahasa yang "ungrammatical." Sebenarnya, ekspresi gramatika bahasa Arab yang dipakai dalam kitab Shahih Bukhari itu sudah sangat jelas. Justru term وجه (wajh) itu seharusnya sejajar dengan term ملك (mulk) sebagaimana ekspresi kebahasaan yang termaktub dalam tulisan asli Imam Bukhari, karena term ملك (mulk) itu memang berfungsi sebagai penjelasan atas term وجه (wajh). Alasannya sederhana, Imam Bukhari memang bermaksud menjelaskan hal yang demikian.
Imam Bukhari sebenarnya menggunakan metode ta'wil dalam pembahasan ayat yang termaktub dalam al-Qur'an. Pertama, penafsiran Qs. Al-Qashshash 28:88. Imam Bukhari menjelaskan bahwa makna term وجه (wajh) tersebut adalah ملك (mulk); artinya "kekuasaan" atau "kerajaan". Term وجهه (wajah-Nya) dita'wil menjadi ملكه (kekuasaan-Nya). Ta'wil ayat ini juga telah disebutkan dan dijelaskan oleh ulama ahli hadits abad ke-2 H., yakni Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H) dalam kitab Tafsir-nya. Dengan demikian, berdasar pada aspek historis (Tarikh ar-Ruwah) dan kaidah Jarh wa at-Ta'dil dalam Ilmu sanad hadits, maka terkait ayat Qs. Al-Qashshash 28:88, pemahaman Imam Al-Bukhari (w. 256 H) ternyata sama dengan pemahaman Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H). Kedua ulama ahli hadits ini dikenal sebagai para ulama hadits pada zamannya dan dikenal sebagai pribadi-pribadi yang terpercaya (tsiqah). Lihat buku karya Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir: Mathba'ah al-Ma'arif, t.t.), hlm. 455-457. Apakah ada ulama hadits yang hidup pada abad ke-2 H. hingga abad ke-8 H. yang meragukan kredibilitas Sufyan ats-Tsauri? Biografi dan kredibiltas Sufyan ats-Tsauri sebagai seorang yang tsiqah (terpercaya) ternyata tercatat dalam berbagai kitab. Bila Anda masih ragu tentang kredibilitas Sufyan ats-Tsauri, silakan Anda mencari jawabannya sendiri. Kedua, penafsiran Qs. Hud 11:56. Ayat ini juga dita'wil oleh Imam Bukhari dalam makna ملكه (kerajaan-Nya) dan سلطانه (kekuasaan-Nya). Inilah fakta tekstual penggunaan metode ta'wil yang dapat kita baca dalam kitab Shahih Bukhari berdasar pada penggunaan term yang sama, ملكه yang bermakna "kekuasaan-Nya."
Bila term ملكه (mem-lam-kaf-ha') pada kedua teks hadits itu dibaca "mulkahu" dan "mulkihi" (lit. "kekuasaan-Nya") sebagaimana yang tertulis dalam kitab Shahih Bukhari, maka memang kedua teks tersebut menunjukkan adanya konsistensi nalar Imam Bukhari. Namun, bila yang pertama dibaca "malikahu" dan yang kedua justru dibaca "mulkihi" maka hal ini menandakan adanya inkonsistensi nalar Imam Bukhari. Tentu saja, hal ini sangat mustahil bila perbedaan bacaan terkait ortografi tulisan ملكه (mem-lam-kaf-ya') yang sama persis itu justru disandarkan kepada pemahaman Imam Bukhari. Dengan kata lain, ortografi tulisan (kitabah) Imam Bukhari terkait term ملكه itu pasti sama antara bacaan (qira'ah) dan maksudnya.
Dengan demikian, pembacaan "malikahu" yang makna secara lughawi sebenarnya adalah "Pemilik-Nya" maka pembacaan seperti ini sangat tidak tepat, sebab dhamir ه (hu) pada term ملكه tersebut tetap menegaskan posisi dhamir ه (hu) pada term وجهه (wajhahu), dan dhamir ه (hu) pada kedua term tersebut merujuk kepada ALLAH sebagai Al-Khaliq, dan bukan merujuk kepada makhluk-Nya. Pembacaan "malikahu" itu tentu sangat mustahil secara aqidah. Bila Imam Bukhari memberikan pemahaman yang maknanya sebagai "kecuali Pemilik wajah-Nya", maka pasti sejak awal Imam Bukhari telah menulis dengan frase الا ملك وجهه (kecuali Pemilik wajah-Nya), dan bukan menulis الا ملكه ("kecuali Pemilik-Nya"). Itu berarti Imam Bukhari sangat mengetahui secara jeli tentang perbedaan makna antara frase الا ملكه dengan frase الا ملك وجهه dan kedua frase tersebut sangat kontras maknanya dalam tinjauan gramatika bahasa Arab. Pada zamannya, Imam Bukhari sangat tidak mungkin gagal paham menulis redaksional teks bahasa Arab secara tepat. Dengan demikian, alasan penggunaan dhomir ه (hu) yang diklaim bisa merujuk pada term wajh ( وجه ) sangatlah tidak tepat dan tidak dapat dipertanggunjawabkan secara linguistik.
Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya juga menggunakan term ملكه tatkala menjelaskan ayat yang lain, ءاخد بناصيتها (Qs. Hud 11:56) dan dita'wil dengan frase اي في ملكه وسلطانه (ay fi mulkihi wa sulthonih). Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari mengutip ayat Qs. Hud 11:56 dan sekaligus menta'wil teksnya demikian:
Imam Bukhari memahami term ءاخذ (akhidzu) yang artinya "memegang" tidak dalam makna "dengan tangan-Nya", tetapi Imam Bukhari menjelaskan secara ta'wil dengan mengalihkan maknanya menjadi ملكه (mulkihi), lit. "kekuasaan-Nya." Silakan Anda membaca penjelasan secara ta'wil ini melalui metode rujuk silang pada pembahasan Qs. Hud 11:56 sebagaimana yang termaktub dalam teks rujukan kitab Shahih Bukhari terbitan Salafi, yakni Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Jami' Al-Bukhari (Riyadh, Saudi Arabia: Dar as-Salam, 1999), hlm. 806. Jadi, kedua term pada ayat tersebut merujuk pada makna ملك (mulk) dan سلطان (sulthon) yang merupakan pemahaman khas ta'wil dari Imam Bukhari. Apakah Imam Bukhari inkonsisten dalam hal ini? Apakah Imam Bukhari menta'wil pada sebagian ayat sekaligus tidak menta'wil pada sebagian ayat yang lain, meskipun dengan menggunakan ortografi tulisan yang sama, yakni istilah ملكه (mem-lam-kaf-ha') sebagaimana yang termaktub dalam kitab Shahih Bukhari?
Berdasarkan teks Shahih Bukhari tersebut, sebenarnya Imam Bukhari memahami teks Quran dengan menggunakan metode ta'wil bila hal itu terkait dengan deskripsi Dzat-Nya. Istilah وجهه (wajhahu) yang arti harfiahnya bermakna "wajah-Nya" ternyata oleh Imam Bukhari dialihkan maknanya dan dijelaskan secara ta'wil sebagai ملكه (kekuasaan-Nya). Sementara itu, istilah ءاخذ (akhidzu) yang arti harfiahnya "memegang" ternyata oleh Imam Bukhari juga dialihkan maknanya dan dijelaskan secara ta'wil sebagai ملكه (kekuasaan-Nya). Inilah episteme Imam Bukhari dalam menalar teks Quran terkait deskripsi mengenai Dzat-Nya. Pengertian "wajah-Nya" oleh Imam Bukhari tidak dipahami sebagai wajah secara literal yang bernuansa "tajsim." Begitu juga pengertian "memegang" oleh Imam Bukhari juga tidak dipahami sebagai memegang dengan tangan secara literal yang bermakna "tajsim." Namun anehnya, kaum Salafi memahami bahwa Imam Bukhari tidak mungkin menta'wil "wajah-Nya", tetapi pada saat yang sama mereka justru mengakui bahwa Imam Bukhari menta'wil tindakan-Nya yang "memegang" ubun-ubun makhluk-Nya. Bukankah tindakan "memegang" itu dengan tangan dan bukan memegang dengan kaki? Bukankah kaum Salafi juga mengakui adanya tangan-Nya secara hakiki? Bukankah kaum Salafi juga mengakui adanya wajah-Nya secara hakiki? Bila ada wajah-Nya dan tangan-Nya secara hakiki, maka wajar bila tindakan "memegang" itu mengindikasikan adanya bentuk tangan-Nya secara hakiki meskipun dipahami tidak sama dan serupa dengan tangan makhluk-Nya.
Imam Ibn al-Jawzi (w. 597 H) adalah ulama ahli hadits abad ke-6 H. Dalam kitabnya, Imam Ibn al-Jawzi telah mengkritik pendapat Abu Ya'la al-Hanbali (w. 458 H) berkaitan dengan pemahaman ayat yang terkait frase لما خلقت بيدي (yang telah Aku ciptakan dengan "kedua tangan-Ku"). Lihat Qs. Shaad 38:75. Menurut Abu Ya'la al-Hanbali (w. 458 H) yang hidup sezaman dengan Ibn Hazm (w. 456 H) dan mereka yang sepaham dengannya, ALLAH mempunyai dua tangan secara hakiki, sehingga ALLAH menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya. Menurut pemahaman kelompok ini, penciptaan Adam yang langsung disandarkan kepada ALLAH dengan menggunakan term يدي (kedua tangan-Ku) bertujuan untuk mengungkapkan keagungan dan keistimewaan tindakan penciptaan Adam. Artinya, penciptaan Adam sebagai "animale rationale" ini dianggap sangat berbeda dengan penciptaan ALLAH terhadap "animale", karena ALLAH menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya. Namun, argumentasi tersebut kemudian dipatahkan oleh Imam Ibn Al-Jawzi (w. 597 H). Menurutnya, redaksi Quran dengan menggunakan term يدي (dua tangan-Ku) dalam bentuk "mutsanna" bukanlah untuk menetapkan bahwa ALLAH memiliki kedua tangan secara hakiki tatkala menciptakan Adam. Jika dipahami secara demikian, maka "animale" dari jenis binatang ternak seharusnya juga memiliki keistimewaan dan keagungan yang sama seperti Adam dibanding "animale" jenis binatang lainnya. Alasannya sederhana, karena Adam dan binatang ternak ternyata diciptakan dengan cara yang sama, dan karena penciptaan mereka juga disandarkan dengan kekhasan tangan hakiki TUHAN. Lihat Qs. Yasin 36:71
Dalam ayat ini disebutkan tentang penciptaan binatang ternak dengan ungkapan ايدينا (aydina) yang langsung disandarkan kepada ALLAH. Ayat ini tentu tidak untuk menunjukkan bahwa binatang-binatang ternak tersebut memiliki keistimewaan di atas seluruh binatang lainnya hanya karena redaksi penciptaannya dengan menggunakan kata ايدينا (tangan-tangan Kami). Menurut Imam Ibn Al-Jawzi, penggunaan redaksi يدي (yadayya) dalam bentuk dual (mutsanna) dalam kasus penciptaan Adam, dan penggunaan redaksi ايدينا (aydina) dalam bentuk plural (jamak) dalam kasus penciptaan binatang ternak, maka hal ini bukan untuk menetapkan bahwa ALLAH memiliki dua tangan secara hakiki.
Pemahaman "tajsim" tentang "tangan-Ku" tersebut sangat dicela oleh para ulama ahli hadits pada abad ke-5 H., di antaranya Imam Al-Baihaqi (w. 458 H). Imam Abu Ya'la al-Hanbali (w. 458 H) yang hidup sezaman dengan Imam Al-Baihaqi (w. 458) memang juga di-jarh (dicela) oleh para ulama ahli hadits generasi setelahnya, karena Abu Ya'la al-Hanbali dianggap menyebarkan paham "tasybih" yang asal-usulnya baru diperkenalkan oleh Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid (w. 403 H) yang baru muncul pada awal abad ke-4 H. Tidak ada tokoh ahli hadits pun yang berpaham "tasybih" yang muncul sebelum era Abu Abdullah al-Hasan bin Hamid (w. 403 H), guru Abu Ya'la al-Hanbali. Itulah sebabnya, Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Kamil fi at-Tarikh mengutip celaan terhadap Abu Ya'la al-Hanbali atas paham tasybih tersebut. Imam Ibn Al-Jawzi (w. 597 H) adalah generasi Salaf yang hidup pada abad ke-6 H. yang juga mengkritik pemahaman "tasybih" tersebut. Pemahaman aqidah Salaf yang dipaparkan oleh Imam Ibn Al-Jawzi dalam kitabnya merupakan fakta tekstual yang dapat diuji keotentikannya sesuai kajian validitas manuskripnya.
Selain itu, berdasar pada aspek historis (Tarikh ar-Ruwah) dan kaidah Jarh wa at-Ta'dil dalam Ilmu sanad hadits, pemahaman Imam Ibn Al-Jawzi (w. 597 H) sama dengan pemahaman Imam Al-Baihaqi (w. 458 H), dan pemahaman Imam Al-Baihaqi (w. 458 H) sama dengan pemahaman Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi (w. 327 H), dan pemahaman Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi sama dengan pemahaman Imam Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H), dan pemahaman Imam at-Thabari (w. 310 H) sama dengan pemahaman Imam Al-Bukhari (w. 256 H), dan pemahaman Imam Al-Bukhari (w. 256 H) sama dengan pemahaman Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), dan pemahaman Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) sama dengan pemahaman Imam Malik bin Anas (w. 179 H), dan pemahaman Imam Malik bin Anas (w. 179 H) sama dengan pemahaman Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H). Kedelapan ulama ahli hadits ini dikenal sebagai para ulama hadits pada zamannya sejak abad ke-2 H. hingga abad ke-6 H., dan mereka dikenal pula sebagai pribadi-pribadi yang terpercaya (tsiqah). Lihat buku karya Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir: Mathba'ah al-Ma'arif, t.t.), hlm. 455-460. Apakah ada ulama hadits yang hidup pada abad ke-6 H. hingga abad ke-8 H. yang meragukan kredibilitas Imam Ibn Al-Jawzi? Biografi dan kredibiltas Imam Ibn Al-Jawzi sebagai seorang yang tsiqah (terpercaya) ternyata tercatat dalam berbagai kitab, di antaranya: Siyar A'lam an-Nubala, juz XXI, hlm. 365, Tadzkirah al-Huffazh, hlm. 1097; Wafayat al-A'yan juz II, hlm. 321; Bidayah wan Nihayah juz XXXI, hlm. 28; Dzail Tabaqat al-Huffazh, juz I, hlm. 399; Al-Kamil fi at-Tarikh juz XII, hlm. 171. Bila Anda masih ragu dengan kredibilitas Imam Ibn Jawzi, silakan Anda mencari jawabannya sendiri. Penjelasan Imam Ibn al-Jawzi (w. 597 H) tersebut dapat dibaca melalui karya beliau yang berjudul دفع شبة التشبيه باكف التنزيه (Daf'u Syubah at-Tasybihi bi Akaffi at-Tanzih).
Downloat kitab Daf'u Syubah at-Tasybihi bi Akaffi at-Tanzih disini :
https://ia800203.us.archive.org/…/Dafu_Shubahi_Tashbih_Kawt…
Pemahaman para Salaf terkait metode ta'wil ijmali dan ta'wil tafshili merupakan pengetahuan tafsir Quran yang ditransmisikan secara bersanad tanpa putus antara generasi ulama hadits abad ke-2 H. hingga abad ke-6 H. Pemahaman Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) yang menentang "tajsim" bahkan juga tercatat dalam kitab "Manaqib al-Imam Ahmad" karya Imam Al-Baihaqi (w. 458 H). Bahkan, pemahaman dan penafsiran Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) tersebut juga tercatat dalam kitab "Al-Bidayah wa al-Nihayah" (Lebanon: Dar el-Fikr, 2004) karya Imam Ibnu Katsir (w. 774 H), yakni terkait pembahasan Qs. Al-Fajr 88:22.
Pemahaman aqidah Imam Ahmad bin Hanbal yang terdokumentasi pada kitab "Al-Bidayah wa al-Nihayah" dan kitab "Manaqib Imam Ahmad", justru itu merupakan bukti adanya tradisi oral berupa teks yang diwariskan antargenerasi yang dibuktikan melalui dokumen tertulis. Kitab "Bidayah wa al-Nihayah" karya Ibnu Katsir (w. 774 H) merupakan dokumen abad ke-8 H., sedangkan kitab "Manaqib Imam Ahmad" karya Imam Al-Baihaqi (w. 458 H) merupakan dokumen abad ke-5 M. Jadi, adanya kesejajaran informasi yang termaktub dalam dokumen tertulis antara abad ke-5 M. dan abad ke-8 M. tersebut, maka hal ini secara de facto sebagai "interne evidentie" tentang validitas tradisi oral teks yang ditransmisikan melalui sanad.
Dengan demikian, pemahaman aqidah para ulama Salaf yang termaktub dalam dokumen-dokumen otentik berupa manuskrip, tentu sangat penting sebagai "alat bukti" untuk melacak validitas dan kesinambungan pesan, terutama berkaitan dengan sanad keilmuan periwayatan hadits dan tafsir Quran. Dalam hal ini, keilmuan Islam tersebut memang memiliki 2 pilar utama, yakni tradisi oral yang berbasis teks, yang kemudian diteguhkan dengan penulisan atau pun penyalinan naskah yang disebut manuskrip. Naskah yang ditulis sang guru disebut "ashl" sedangkan naskah yang ditulis sang murid disebut "nuskhah." Teks yang diwariskan melalui tradisi oral yang kemudian direkam dalam format manuskrip dalam bentuk "ashl" dan "nuskhah" itu meniscayakan adanya sanad. Jadi, sanad itu adalah gabungan antara tradisi oral dan tradisi tulis. Para hafidz pasti memiliki jalur resmi dalam pewarisan keilmuan Islam yang diistilahkan sebagai sanad tersebut. Sanad tanpa bukti dokumen tertulis berupa kitab atau pun manuskrip, maka hal itu dinyatakan invalid. Bukankah kita meneliti sebuah sanad dengan cara melacak kredibiltas perawi melalui pembacaan dokumen tertulis dari manuskrip? Apakah mungkin kita meyakini validitas sebuah sanad tanpa melacaknya melalui dokumen tertulis berupa manuskrip? Validitas dokumen tertulis berupa manuskrip justru semakin meyakinkan peneliti tentang kesahihan pesan yang termaktub di dalamnya, dibanding sekedar pesan (informasi) yang hanya terdokumentasi dalam karya era abad belakangan yang tidak dapat ditelusuri keasliannya melalui konfirmasi dokumen pembanding berupa manuskripnya. Inilah yang disebut sebagai klaim sepihak melalui "dokumen rekayasa." Tradisi oral sebuah bacaan teks tertentu tidak dapat diklaim sebagai sesuatu yang otentik bila tidak dapat dibuktikan melalui pembuktian otentisitas manuskrip pada zamannya, karena hal tersebut sangat rawan manipulasi pesan. Misalnya, bacaan "malikahu" diklaim sebagai bacaan otentik, tetapi bacaan tersebut justru terdokumentasi pada manuskrip yang ditulis pada abad ke-21 M., dan tidak didukung dengan manuskrip pembanding yang ditemukan pada era yang lebih awal. Adanya manipulasi pesan akan lebih rawan lagi bila bacaan yang diklaim sebagai bacaan yang otentik tersebut justru tidak didukung dengan pembuktian data manuskrip kuno manapun.
Bila kita mengkaji manuskrip berdasar pada konteks filologis, manuskrip bisa saja dalam penulisannya terjadi kekeliruan, tetapi validitas suatu pesan yang termaktub dalam manuskrip tersebut dapat dilacak dan dikonfirmasi kebenarannya melalui dokumen pembanding manuskrip-manuskrip lainnya yang melintas batas berbagai zaman. Justru tradisi oral sebuah bacaan teks tertentu yang tidak didukung dengan berbagai bukti manuskrip yang melintas batas zaman, maka keakuratannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Menurut peneliti dari Salafi, dhomir ه (hu) pada frase الا ملكه juga bisa merujuk pada frase كل شيء (kullu syai'in). Apakah hal ini juga bisa dibenarkan secara kebahasaan? Sebenarnya hal ini juga tidak bisa dibenarkan secara gramatikal, karena sangat bermasalah, yakni dhomir ه (hu) akan merujuk pada makhluk dan bukan merujuk kepada الخالق (Sang Khalik). Imam Bukhari tidak mungkin gagal paham memahami fungsi dhamir ه (hu) pada frase الا وجهه (illa wajhahu). Imam Bukhari pasti memahami bahwa dhamir ه (hu) tersebut merujuk kepada-Nya sebagai Al-Khaliq, dan bukan merujuk pada frase كل شيء (kullu syai'in) sebagai makhluk-Nya. Begitu juga penjelasan Imam Bukhari dengan menambahkan frase الا ملكه tersebut tentu mempunyai maksud yang sama dengan ayat yang sedang dijelaskannya. Imam Bukhari tidak mungkin gagal paham memahami fungsi dhamir ه (hu) pada frase الا ملكه yang dituliskannya. Imam Bukhari pasti memahami bahwa dhamir ه (hu) tersebut merujuk kepada-Nya dan bukan merujuk pada pada frase كل شيء (kullu syai'in) sebagai makhluk-Nya. Dengan demikian, kita bisa memahami tulisan Imam Bukhari secara kajian kebahasaan berdasar teks yang disusunnya.
Menurut peneliti Salafi memang ada 2 pola gramatika bahasa Arab sebagai alternatif pola gramatika bahasa Arab abad ke-9 M., yakni dhomir ه (hu) bisa merujuk kepada Sang Khalik dan juga bisa merujuk pada makhluk. Namun, anggapan yang demikian itu sangat tidak bernalar. Bila dhomir ه (hu) merujuk pada كل شيء (kullu syai'in) sebagai makhluk, berarti ini sangat fatal sebab dhamir ه (hu) pada term وجهه (wajhahu) ternyata merujuk kepada Al-Khaliq. Berarti dalam konteks ini ada inkonsistensi penalaran antara maksud dari ayat Quran tersebut dengan pemahaman kaum Salafi terhadap redaksional teks yang digunakan oleh Imam Bukhari. Jika demikian, hal ini tentu harus kita kritisi. Dan kritikan dalam konteks ini bukanlah sebuah tindakan takfiri. Kritikan dalam konteks ini sebagai ekspresi nalar intelektual yang mengasah literasi dalam diskusi, dan bukan persekusi.
Hal yang amat mustahil apabila Imam Bukhari gagal paham mengenai dhamir ه (hu) pada frase الا وجهه sebagaimana yang termaktub dalam ayat Quran. Imam Bukhari menyebutkan
Imam Bukhari pasti lebih pakar dan lebih paham bahasa Arab sehingga tidak mungkin Imam Bukhari salah paham dan salah sasaran rujukan dhamir ه (hu) tersebut, dan mustahil bila Imam Bukhari salah merujukkan dhamir ه (hu) pada frase الا ملكه mengacu pada كل شيء (kullu syai'in). Imam Bukhari memahami bahwa dhamir ه (hu) pada term ملكه merujuk kepada ALLAH sebagai الخالق (Sang Pencipta) dan bukan merujuk pada frase كل شيء (kullu syai'in) sebagai ciptaan.
Kesimpulan
1. Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya telah menegaskan bahwa dhamir ه (hu) pada frase الا ملكه tersebut sejajar maksudnya dengan dhamir ه (hu) pada frase الا وجهه (illa wajhahu). Sementara itu, frase الا ملكه tersebut sebagai penjelas atau komentar atas frase الا وجهه (illa wajhahu). Artinya, dhamir ه (hu) pada kedua frase tersebut sama-sama mengacu kepada-Nya sebagai الخالق (Sang Pencipta).
2. Imam Bukhari sangat konsisten dalam menggunakan istilah ملكه dalam rangka menafsirkan makna ayat Quran yang dimaksudkan, dan istilah khas tersebut ternyata diulang sebanyak 2 kali dalam kitab Shahih-nya. Istilah yang dipakai sama, ortografi penulisannya sama, bacaannya seharusnya sama, karena kandungan maknanya juga sama. Dalam hal ini kita harus bisa membaca episteme (cara bernalar) Imam Bukhari dalam penggunaan ortografi tulisan ملكه tersebut. Kita tidak diperkenankan mengubah makna dari nukilan teks yang kita kutip sebagaimana yang termaktub dalam kitab Shahih-nya Imam Bukhari. Pengubahan makna yang disesuaikan dengan pemahaman kita karena alasan-alasan kepentingan tertentu, maka ini sama halnya kita berdusta atas nama otoritas Imam Bukhari sebagai ulama Salaf.
3. Ortografi tulisan ملكه dalam kitab Shahih Bukhari yang dibaca "mulkahu" atau pun "mulkihi" keduanya merujuk pada genre "isim maf'ul." Hal ini merupakan bacaan populer yang bersanad dari generasi ke generasi dalam periwayatan hadits. Hal yang sama sebagaimana ortografi tulisan ملكه dalam frase وشددنا ملكه yang dibaca "mulkahu" yang merujuk pada genre "isim maf'ul" dalam Qs. Shaad 38:20. Hal ini juga merupakan bacaan populer yang bersanad dari generasi ke generasi dalam periwayatan qira'ah Quran.
4. Imam Bukhari ternyata menggunakan metode ta'wil ketika term tertentu terkait dengan Dzat-Nya, dan beliau tidak memahaminya secara "dhahir." Hal ini terbukti tatkala beliau menafsirkan Qs. Hud 11:56. Lihat kitab Jami' Al-Bukhari (Riyadh, Saudi Arabia: Dar as-Salam, 1999), hlm. 806.
Download kitab Jami' Al-Bukhari
Catatan :
Monggo dibaca ini hasil riset manuskrip Imam Bukhari bahwa terbukti beliau juga menggunakan takwil.Nanti kalau masih kurang saya tambahkan lagi dari ulama salaf yang lain;
IMAM BUKHARI GAGAL PAHAM BAHASA ARAB: Benarkah Demikian?
Imam Bukhari (w. 256 H) adalah salah satu di antara para ulama hadits yang berkiprah pada abad ke-3 H. Ulama-ulama hadits yang hidup pada abad ke-3 Hijriyah di antaranya: Yazid bin Harun (w. 206 H), Abu Dawud at-Tayalisi (w. 204 H), Abd ar-Razzaq ibn Hammam (w. 211 H), Abu 'Ashim (w. 212 H), Yahya bin Ma'in (w. 233 H), Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Muhammad ibn Sa'ad (w. 230 H), Ali al-Madini (w. 234 H), Muhammad bin Abdullah bin Numair (w. 234 H), Abu Bakar bin Abi Syaibah (w. 235 H), Abdullah bin Amr al-Qawariri (w. 235 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 237 H), Harun bin Abdullah (w. 243 H), Ahmad bin Shalih (w. 248 H), ad-Darimi (w. 255 H), Abu Zur'ah (w. 264 H), Muslim bin Hajjaj (w. 261 H), Abu Dawud as-Sijistani (w. 275 H), Abu Hatim ar-Razi (w. 277 H), Abu Zur'ah ad-Dimasyqi (w. 281 H).
Karya Imam Bukhari yang paling otoritatif adalah kitab Shahih Bukhari dan kitab ini dapat dijadikan sebagai dokumen untuk meriset pola gramatika kebahasaan linguistik Arab yang berlaku pada abad ke-3 H (abad ke-9 M). Apakah pola gramatika bahasa Arab pada era tersebut amat penting untuk diteliti oleh para akademisi? Tentu saja hal itu tergantung bagaimana cara Anda membaca teksnya.
Studi kasus teks yang ditulis oleh Imam Bukhari tentang penggunaan term khusus yang ortografinya tertulis ملكه (mem-lam-kaf-ha') dapat dijadikan sebagai acuan. Redaksi teks lengkapnya sebagai berikut:
كل شيء هالك الا وجهه الا ملكه
Berdasar pada gramatika bahasa Arab, umumnya ortografi tulisan ملكه (mem-lam-kaf-ha') pada teks tersebut oleh para linguis Arab dibaca dengan versi bacaan "mulkahu", bukan dibaca "malikahu." Para penerjemah menerjemahkan teks tersebut demikian: "Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya, kecuali kekuasan-Nya." Itulah sebabnya, semua terbitan kitab Shahih Bukhari juga menyebutkan versi bacaan "mulkahu", bukan versi bacaan "malikahu."Namun, menurut peneliti dari kalangan Salafi terkait pola gramatika bahasa Arab abad ke-9 M., mereka menyatakan bahwa term tersebut tidak bisa dibaca "mulkahu", tetapi yang benar seharusnya dibaca "malikahu", yang menurutnya lebih tepat diartikan "Pemilik wajah-Nya." Menurutnya, ortografi tulisan yang dibaca الا ملكه (illa malikahu) itu maksudnya sama dengan الا ملك وجهه (illa malika wajhihi).
Argumen peneliti gramatika bahasa Arab abad ke-9 M. tersebut sangat penting dikritisi, terutama dalam konteks kajian linguistik Arab. Apakah pemahaman gramatika bahasa Arab yang diklaim sebagai ciri khas linguistik Arab abad ke-9 itu dapat dibenarkan secara ilmiah? Apakah dhamir ه (hu) pada term khusus ملكه yang dibaca "malikahu" itu merujuk pada term وجه (wajh) sebagaimana maksud redaksional teks asli yang ditulis oleh Imam Bukhari? Sang peneliti bermaksud menjelaskan bahwa redaksi teks yang tertulis الا ملكه dalam tulisan Imam Bukhari itu maksudnya sejajar dengan الا ملك وجهه (illa malika wajhihi). Menurut saya, tentu saja hal ini merupakan pemahaman bahasa Arab yang "ungrammatical" dan tidak umum. Bahkan penjelasan الا ملك وجهه ("illa malika wajhihi") itu sendiri merupakan pemahaman ta'wil gaya baru. Pemahaman ta'wil gaya baru sebenarnya merupakan upaya pemalingan makna "dhahir" dari redaksi aslinya dengan cara menambahkan kata lain yang diklaim untuk memperjelas maksudnya. Dengan kata lain, ortografi tulisan ملكه (mem-lam-kaf-ha') dalam redaksional Imam Bukhari yang ternyata ditafsirkan ملك وجهه ("malika wajhihi") itu sebenarnya juga ta'wil. Term ملكه (mem-lam-kaf-ha') bukan dibaca "malikahu" sesuai tulisannya, tetapi ditafsirkan menjadi ملك وجهه ("malika wajhihi") dengan menambahkan kata lainnya. Cara "membaca" ortografi tulisan ملكه tentu saja maksudnya berbeda dengan cara "menafsir" tulisan ملكه tersebut dengan mengubahnya menjadi frase ملك وجهه (malika wajhihi), dan "penyisipan kata" وجه (wajh) pada frase tersebut merupakan pengalihan makna terhadap redaksional teks dari aslinya; inilah yang disebut sebagai ta'wil. Selain itu, term "wajhahu" (wajah-Nya) dalam ayat Quran tentu saja berbeda jauh dari term "malikahu" (pemilik-Nya), maka perubahan dari kata وجهه ("wajhahu") menjadi frase ملك وجهه ("malika wajhihi") adalah ta'wil itu sendiri, dan hal ini tentu saja merupakan jenis ta'wil secara bahasa yang "ungrammatical." Sebenarnya, ekspresi gramatika bahasa Arab yang dipakai dalam kitab Shahih Bukhari itu sudah sangat jelas. Justru term وجه (wajh) itu seharusnya sejajar dengan term ملك (mulk) sebagaimana ekspresi kebahasaan yang termaktub dalam tulisan asli Imam Bukhari, karena term ملك (mulk) itu memang berfungsi sebagai penjelasan atas term وجه (wajh). Alasannya sederhana, Imam Bukhari memang bermaksud menjelaskan hal yang demikian.
Imam Bukhari sebenarnya menggunakan metode ta'wil dalam pembahasan ayat yang termaktub dalam al-Qur'an. Pertama, penafsiran Qs. Al-Qashshash 28:88. Imam Bukhari menjelaskan bahwa makna term وجه (wajh) tersebut adalah ملك (mulk); artinya "kekuasaan" atau "kerajaan". Term وجهه (wajah-Nya) dita'wil menjadi ملكه (kekuasaan-Nya). Ta'wil ayat ini juga telah disebutkan dan dijelaskan oleh ulama ahli hadits abad ke-2 H., yakni Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H) dalam kitab Tafsir-nya. Dengan demikian, berdasar pada aspek historis (Tarikh ar-Ruwah) dan kaidah Jarh wa at-Ta'dil dalam Ilmu sanad hadits, maka terkait ayat Qs. Al-Qashshash 28:88, pemahaman Imam Al-Bukhari (w. 256 H) ternyata sama dengan pemahaman Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H). Kedua ulama ahli hadits ini dikenal sebagai para ulama hadits pada zamannya dan dikenal sebagai pribadi-pribadi yang terpercaya (tsiqah). Lihat buku karya Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir: Mathba'ah al-Ma'arif, t.t.), hlm. 455-457. Apakah ada ulama hadits yang hidup pada abad ke-2 H. hingga abad ke-8 H. yang meragukan kredibilitas Sufyan ats-Tsauri? Biografi dan kredibiltas Sufyan ats-Tsauri sebagai seorang yang tsiqah (terpercaya) ternyata tercatat dalam berbagai kitab. Bila Anda masih ragu tentang kredibilitas Sufyan ats-Tsauri, silakan Anda mencari jawabannya sendiri. Kedua, penafsiran Qs. Hud 11:56. Ayat ini juga dita'wil oleh Imam Bukhari dalam makna ملكه (kerajaan-Nya) dan سلطانه (kekuasaan-Nya). Inilah fakta tekstual penggunaan metode ta'wil yang dapat kita baca dalam kitab Shahih Bukhari berdasar pada penggunaan term yang sama, ملكه yang bermakna "kekuasaan-Nya."
Bila term ملكه (mem-lam-kaf-ha') pada kedua teks hadits itu dibaca "mulkahu" dan "mulkihi" (lit. "kekuasaan-Nya") sebagaimana yang tertulis dalam kitab Shahih Bukhari, maka memang kedua teks tersebut menunjukkan adanya konsistensi nalar Imam Bukhari. Namun, bila yang pertama dibaca "malikahu" dan yang kedua justru dibaca "mulkihi" maka hal ini menandakan adanya inkonsistensi nalar Imam Bukhari. Tentu saja, hal ini sangat mustahil bila perbedaan bacaan terkait ortografi tulisan ملكه (mem-lam-kaf-ya') yang sama persis itu justru disandarkan kepada pemahaman Imam Bukhari. Dengan kata lain, ortografi tulisan (kitabah) Imam Bukhari terkait term ملكه itu pasti sama antara bacaan (qira'ah) dan maksudnya.
Dengan demikian, pembacaan "malikahu" yang makna secara lughawi sebenarnya adalah "Pemilik-Nya" maka pembacaan seperti ini sangat tidak tepat, sebab dhamir ه (hu) pada term ملكه tersebut tetap menegaskan posisi dhamir ه (hu) pada term وجهه (wajhahu), dan dhamir ه (hu) pada kedua term tersebut merujuk kepada ALLAH sebagai Al-Khaliq, dan bukan merujuk kepada makhluk-Nya. Pembacaan "malikahu" itu tentu sangat mustahil secara aqidah. Bila Imam Bukhari memberikan pemahaman yang maknanya sebagai "kecuali Pemilik wajah-Nya", maka pasti sejak awal Imam Bukhari telah menulis dengan frase الا ملك وجهه (kecuali Pemilik wajah-Nya), dan bukan menulis الا ملكه ("kecuali Pemilik-Nya"). Itu berarti Imam Bukhari sangat mengetahui secara jeli tentang perbedaan makna antara frase الا ملكه dengan frase الا ملك وجهه dan kedua frase tersebut sangat kontras maknanya dalam tinjauan gramatika bahasa Arab. Pada zamannya, Imam Bukhari sangat tidak mungkin gagal paham menulis redaksional teks bahasa Arab secara tepat. Dengan demikian, alasan penggunaan dhomir ه (hu) yang diklaim bisa merujuk pada term wajh ( وجه ) sangatlah tidak tepat dan tidak dapat dipertanggunjawabkan secara linguistik.
Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya juga menggunakan term ملكه tatkala menjelaskan ayat yang lain, ءاخد بناصيتها (Qs. Hud 11:56) dan dita'wil dengan frase اي في ملكه وسلطانه (ay fi mulkihi wa sulthonih). Dalam kitab Shahih-nya, Imam Bukhari mengutip ayat Qs. Hud 11:56 dan sekaligus menta'wil teksnya demikian:
ما من دابة الا هو ءاخذ بناصيتها اي في ملكه وسلطانه
"Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya yakni dalam kerajaan-Nya dan kekuasaan-Nya."Imam Bukhari memahami term ءاخذ (akhidzu) yang artinya "memegang" tidak dalam makna "dengan tangan-Nya", tetapi Imam Bukhari menjelaskan secara ta'wil dengan mengalihkan maknanya menjadi ملكه (mulkihi), lit. "kekuasaan-Nya." Silakan Anda membaca penjelasan secara ta'wil ini melalui metode rujuk silang pada pembahasan Qs. Hud 11:56 sebagaimana yang termaktub dalam teks rujukan kitab Shahih Bukhari terbitan Salafi, yakni Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Jami' Al-Bukhari (Riyadh, Saudi Arabia: Dar as-Salam, 1999), hlm. 806. Jadi, kedua term pada ayat tersebut merujuk pada makna ملك (mulk) dan سلطان (sulthon) yang merupakan pemahaman khas ta'wil dari Imam Bukhari. Apakah Imam Bukhari inkonsisten dalam hal ini? Apakah Imam Bukhari menta'wil pada sebagian ayat sekaligus tidak menta'wil pada sebagian ayat yang lain, meskipun dengan menggunakan ortografi tulisan yang sama, yakni istilah ملكه (mem-lam-kaf-ha') sebagaimana yang termaktub dalam kitab Shahih Bukhari?
Berdasarkan teks Shahih Bukhari tersebut, sebenarnya Imam Bukhari memahami teks Quran dengan menggunakan metode ta'wil bila hal itu terkait dengan deskripsi Dzat-Nya. Istilah وجهه (wajhahu) yang arti harfiahnya bermakna "wajah-Nya" ternyata oleh Imam Bukhari dialihkan maknanya dan dijelaskan secara ta'wil sebagai ملكه (kekuasaan-Nya). Sementara itu, istilah ءاخذ (akhidzu) yang arti harfiahnya "memegang" ternyata oleh Imam Bukhari juga dialihkan maknanya dan dijelaskan secara ta'wil sebagai ملكه (kekuasaan-Nya). Inilah episteme Imam Bukhari dalam menalar teks Quran terkait deskripsi mengenai Dzat-Nya. Pengertian "wajah-Nya" oleh Imam Bukhari tidak dipahami sebagai wajah secara literal yang bernuansa "tajsim." Begitu juga pengertian "memegang" oleh Imam Bukhari juga tidak dipahami sebagai memegang dengan tangan secara literal yang bermakna "tajsim." Namun anehnya, kaum Salafi memahami bahwa Imam Bukhari tidak mungkin menta'wil "wajah-Nya", tetapi pada saat yang sama mereka justru mengakui bahwa Imam Bukhari menta'wil tindakan-Nya yang "memegang" ubun-ubun makhluk-Nya. Bukankah tindakan "memegang" itu dengan tangan dan bukan memegang dengan kaki? Bukankah kaum Salafi juga mengakui adanya tangan-Nya secara hakiki? Bukankah kaum Salafi juga mengakui adanya wajah-Nya secara hakiki? Bila ada wajah-Nya dan tangan-Nya secara hakiki, maka wajar bila tindakan "memegang" itu mengindikasikan adanya bentuk tangan-Nya secara hakiki meskipun dipahami tidak sama dan serupa dengan tangan makhluk-Nya.
Imam Ibn al-Jawzi (w. 597 H) adalah ulama ahli hadits abad ke-6 H. Dalam kitabnya, Imam Ibn al-Jawzi telah mengkritik pendapat Abu Ya'la al-Hanbali (w. 458 H) berkaitan dengan pemahaman ayat yang terkait frase لما خلقت بيدي (yang telah Aku ciptakan dengan "kedua tangan-Ku"). Lihat Qs. Shaad 38:75. Menurut Abu Ya'la al-Hanbali (w. 458 H) yang hidup sezaman dengan Ibn Hazm (w. 456 H) dan mereka yang sepaham dengannya, ALLAH mempunyai dua tangan secara hakiki, sehingga ALLAH menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya. Menurut pemahaman kelompok ini, penciptaan Adam yang langsung disandarkan kepada ALLAH dengan menggunakan term يدي (kedua tangan-Ku) bertujuan untuk mengungkapkan keagungan dan keistimewaan tindakan penciptaan Adam. Artinya, penciptaan Adam sebagai "animale rationale" ini dianggap sangat berbeda dengan penciptaan ALLAH terhadap "animale", karena ALLAH menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya. Namun, argumentasi tersebut kemudian dipatahkan oleh Imam Ibn Al-Jawzi (w. 597 H). Menurutnya, redaksi Quran dengan menggunakan term يدي (dua tangan-Ku) dalam bentuk "mutsanna" bukanlah untuk menetapkan bahwa ALLAH memiliki kedua tangan secara hakiki tatkala menciptakan Adam. Jika dipahami secara demikian, maka "animale" dari jenis binatang ternak seharusnya juga memiliki keistimewaan dan keagungan yang sama seperti Adam dibanding "animale" jenis binatang lainnya. Alasannya sederhana, karena Adam dan binatang ternak ternyata diciptakan dengan cara yang sama, dan karena penciptaan mereka juga disandarkan dengan kekhasan tangan hakiki TUHAN. Lihat Qs. Yasin 36:71
انا خلقنا لهم مما عملت ايدينا انعاما
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang-binatang ternak bagi mereka yang sebagian Kami telah ciptakan dengan tangan-tangan Kami ...."Dalam ayat ini disebutkan tentang penciptaan binatang ternak dengan ungkapan ايدينا (aydina) yang langsung disandarkan kepada ALLAH. Ayat ini tentu tidak untuk menunjukkan bahwa binatang-binatang ternak tersebut memiliki keistimewaan di atas seluruh binatang lainnya hanya karena redaksi penciptaannya dengan menggunakan kata ايدينا (tangan-tangan Kami). Menurut Imam Ibn Al-Jawzi, penggunaan redaksi يدي (yadayya) dalam bentuk dual (mutsanna) dalam kasus penciptaan Adam, dan penggunaan redaksi ايدينا (aydina) dalam bentuk plural (jamak) dalam kasus penciptaan binatang ternak, maka hal ini bukan untuk menetapkan bahwa ALLAH memiliki dua tangan secara hakiki.
Pemahaman "tajsim" tentang "tangan-Ku" tersebut sangat dicela oleh para ulama ahli hadits pada abad ke-5 H., di antaranya Imam Al-Baihaqi (w. 458 H). Imam Abu Ya'la al-Hanbali (w. 458 H) yang hidup sezaman dengan Imam Al-Baihaqi (w. 458) memang juga di-jarh (dicela) oleh para ulama ahli hadits generasi setelahnya, karena Abu Ya'la al-Hanbali dianggap menyebarkan paham "tasybih" yang asal-usulnya baru diperkenalkan oleh Abu Abdillah al-Hasan bin Hamid (w. 403 H) yang baru muncul pada awal abad ke-4 H. Tidak ada tokoh ahli hadits pun yang berpaham "tasybih" yang muncul sebelum era Abu Abdullah al-Hasan bin Hamid (w. 403 H), guru Abu Ya'la al-Hanbali. Itulah sebabnya, Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Kamil fi at-Tarikh mengutip celaan terhadap Abu Ya'la al-Hanbali atas paham tasybih tersebut. Imam Ibn Al-Jawzi (w. 597 H) adalah generasi Salaf yang hidup pada abad ke-6 H. yang juga mengkritik pemahaman "tasybih" tersebut. Pemahaman aqidah Salaf yang dipaparkan oleh Imam Ibn Al-Jawzi dalam kitabnya merupakan fakta tekstual yang dapat diuji keotentikannya sesuai kajian validitas manuskripnya.
Selain itu, berdasar pada aspek historis (Tarikh ar-Ruwah) dan kaidah Jarh wa at-Ta'dil dalam Ilmu sanad hadits, pemahaman Imam Ibn Al-Jawzi (w. 597 H) sama dengan pemahaman Imam Al-Baihaqi (w. 458 H), dan pemahaman Imam Al-Baihaqi (w. 458 H) sama dengan pemahaman Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi (w. 327 H), dan pemahaman Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razi sama dengan pemahaman Imam Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H), dan pemahaman Imam at-Thabari (w. 310 H) sama dengan pemahaman Imam Al-Bukhari (w. 256 H), dan pemahaman Imam Al-Bukhari (w. 256 H) sama dengan pemahaman Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), dan pemahaman Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) sama dengan pemahaman Imam Malik bin Anas (w. 179 H), dan pemahaman Imam Malik bin Anas (w. 179 H) sama dengan pemahaman Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H). Kedelapan ulama ahli hadits ini dikenal sebagai para ulama hadits pada zamannya sejak abad ke-2 H. hingga abad ke-6 H., dan mereka dikenal pula sebagai pribadi-pribadi yang terpercaya (tsiqah). Lihat buku karya Muhammad Abu Zahw, Al-Hadits wa al-Muhadditsun (Mesir: Mathba'ah al-Ma'arif, t.t.), hlm. 455-460. Apakah ada ulama hadits yang hidup pada abad ke-6 H. hingga abad ke-8 H. yang meragukan kredibilitas Imam Ibn Al-Jawzi? Biografi dan kredibiltas Imam Ibn Al-Jawzi sebagai seorang yang tsiqah (terpercaya) ternyata tercatat dalam berbagai kitab, di antaranya: Siyar A'lam an-Nubala, juz XXI, hlm. 365, Tadzkirah al-Huffazh, hlm. 1097; Wafayat al-A'yan juz II, hlm. 321; Bidayah wan Nihayah juz XXXI, hlm. 28; Dzail Tabaqat al-Huffazh, juz I, hlm. 399; Al-Kamil fi at-Tarikh juz XII, hlm. 171. Bila Anda masih ragu dengan kredibilitas Imam Ibn Jawzi, silakan Anda mencari jawabannya sendiri. Penjelasan Imam Ibn al-Jawzi (w. 597 H) tersebut dapat dibaca melalui karya beliau yang berjudul دفع شبة التشبيه باكف التنزيه (Daf'u Syubah at-Tasybihi bi Akaffi at-Tanzih).
Downloat kitab Daf'u Syubah at-Tasybihi bi Akaffi at-Tanzih disini :
https://ia800203.us.archive.org/…/Dafu_Shubahi_Tashbih_Kawt…
Pemahaman para Salaf terkait metode ta'wil ijmali dan ta'wil tafshili merupakan pengetahuan tafsir Quran yang ditransmisikan secara bersanad tanpa putus antara generasi ulama hadits abad ke-2 H. hingga abad ke-6 H. Pemahaman Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) yang menentang "tajsim" bahkan juga tercatat dalam kitab "Manaqib al-Imam Ahmad" karya Imam Al-Baihaqi (w. 458 H). Bahkan, pemahaman dan penafsiran Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) tersebut juga tercatat dalam kitab "Al-Bidayah wa al-Nihayah" (Lebanon: Dar el-Fikr, 2004) karya Imam Ibnu Katsir (w. 774 H), yakni terkait pembahasan Qs. Al-Fajr 88:22.
Pemahaman aqidah Imam Ahmad bin Hanbal yang terdokumentasi pada kitab "Al-Bidayah wa al-Nihayah" dan kitab "Manaqib Imam Ahmad", justru itu merupakan bukti adanya tradisi oral berupa teks yang diwariskan antargenerasi yang dibuktikan melalui dokumen tertulis. Kitab "Bidayah wa al-Nihayah" karya Ibnu Katsir (w. 774 H) merupakan dokumen abad ke-8 H., sedangkan kitab "Manaqib Imam Ahmad" karya Imam Al-Baihaqi (w. 458 H) merupakan dokumen abad ke-5 M. Jadi, adanya kesejajaran informasi yang termaktub dalam dokumen tertulis antara abad ke-5 M. dan abad ke-8 M. tersebut, maka hal ini secara de facto sebagai "interne evidentie" tentang validitas tradisi oral teks yang ditransmisikan melalui sanad.
Dengan demikian, pemahaman aqidah para ulama Salaf yang termaktub dalam dokumen-dokumen otentik berupa manuskrip, tentu sangat penting sebagai "alat bukti" untuk melacak validitas dan kesinambungan pesan, terutama berkaitan dengan sanad keilmuan periwayatan hadits dan tafsir Quran. Dalam hal ini, keilmuan Islam tersebut memang memiliki 2 pilar utama, yakni tradisi oral yang berbasis teks, yang kemudian diteguhkan dengan penulisan atau pun penyalinan naskah yang disebut manuskrip. Naskah yang ditulis sang guru disebut "ashl" sedangkan naskah yang ditulis sang murid disebut "nuskhah." Teks yang diwariskan melalui tradisi oral yang kemudian direkam dalam format manuskrip dalam bentuk "ashl" dan "nuskhah" itu meniscayakan adanya sanad. Jadi, sanad itu adalah gabungan antara tradisi oral dan tradisi tulis. Para hafidz pasti memiliki jalur resmi dalam pewarisan keilmuan Islam yang diistilahkan sebagai sanad tersebut. Sanad tanpa bukti dokumen tertulis berupa kitab atau pun manuskrip, maka hal itu dinyatakan invalid. Bukankah kita meneliti sebuah sanad dengan cara melacak kredibiltas perawi melalui pembacaan dokumen tertulis dari manuskrip? Apakah mungkin kita meyakini validitas sebuah sanad tanpa melacaknya melalui dokumen tertulis berupa manuskrip? Validitas dokumen tertulis berupa manuskrip justru semakin meyakinkan peneliti tentang kesahihan pesan yang termaktub di dalamnya, dibanding sekedar pesan (informasi) yang hanya terdokumentasi dalam karya era abad belakangan yang tidak dapat ditelusuri keasliannya melalui konfirmasi dokumen pembanding berupa manuskripnya. Inilah yang disebut sebagai klaim sepihak melalui "dokumen rekayasa." Tradisi oral sebuah bacaan teks tertentu tidak dapat diklaim sebagai sesuatu yang otentik bila tidak dapat dibuktikan melalui pembuktian otentisitas manuskrip pada zamannya, karena hal tersebut sangat rawan manipulasi pesan. Misalnya, bacaan "malikahu" diklaim sebagai bacaan otentik, tetapi bacaan tersebut justru terdokumentasi pada manuskrip yang ditulis pada abad ke-21 M., dan tidak didukung dengan manuskrip pembanding yang ditemukan pada era yang lebih awal. Adanya manipulasi pesan akan lebih rawan lagi bila bacaan yang diklaim sebagai bacaan yang otentik tersebut justru tidak didukung dengan pembuktian data manuskrip kuno manapun.
Bila kita mengkaji manuskrip berdasar pada konteks filologis, manuskrip bisa saja dalam penulisannya terjadi kekeliruan, tetapi validitas suatu pesan yang termaktub dalam manuskrip tersebut dapat dilacak dan dikonfirmasi kebenarannya melalui dokumen pembanding manuskrip-manuskrip lainnya yang melintas batas berbagai zaman. Justru tradisi oral sebuah bacaan teks tertentu yang tidak didukung dengan berbagai bukti manuskrip yang melintas batas zaman, maka keakuratannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Menurut peneliti dari Salafi, dhomir ه (hu) pada frase الا ملكه juga bisa merujuk pada frase كل شيء (kullu syai'in). Apakah hal ini juga bisa dibenarkan secara kebahasaan? Sebenarnya hal ini juga tidak bisa dibenarkan secara gramatikal, karena sangat bermasalah, yakni dhomir ه (hu) akan merujuk pada makhluk dan bukan merujuk kepada الخالق (Sang Khalik). Imam Bukhari tidak mungkin gagal paham memahami fungsi dhamir ه (hu) pada frase الا وجهه (illa wajhahu). Imam Bukhari pasti memahami bahwa dhamir ه (hu) tersebut merujuk kepada-Nya sebagai Al-Khaliq, dan bukan merujuk pada frase كل شيء (kullu syai'in) sebagai makhluk-Nya. Begitu juga penjelasan Imam Bukhari dengan menambahkan frase الا ملكه tersebut tentu mempunyai maksud yang sama dengan ayat yang sedang dijelaskannya. Imam Bukhari tidak mungkin gagal paham memahami fungsi dhamir ه (hu) pada frase الا ملكه yang dituliskannya. Imam Bukhari pasti memahami bahwa dhamir ه (hu) tersebut merujuk kepada-Nya dan bukan merujuk pada pada frase كل شيء (kullu syai'in) sebagai makhluk-Nya. Dengan demikian, kita bisa memahami tulisan Imam Bukhari secara kajian kebahasaan berdasar teks yang disusunnya.
Menurut peneliti Salafi memang ada 2 pola gramatika bahasa Arab sebagai alternatif pola gramatika bahasa Arab abad ke-9 M., yakni dhomir ه (hu) bisa merujuk kepada Sang Khalik dan juga bisa merujuk pada makhluk. Namun, anggapan yang demikian itu sangat tidak bernalar. Bila dhomir ه (hu) merujuk pada كل شيء (kullu syai'in) sebagai makhluk, berarti ini sangat fatal sebab dhamir ه (hu) pada term وجهه (wajhahu) ternyata merujuk kepada Al-Khaliq. Berarti dalam konteks ini ada inkonsistensi penalaran antara maksud dari ayat Quran tersebut dengan pemahaman kaum Salafi terhadap redaksional teks yang digunakan oleh Imam Bukhari. Jika demikian, hal ini tentu harus kita kritisi. Dan kritikan dalam konteks ini bukanlah sebuah tindakan takfiri. Kritikan dalam konteks ini sebagai ekspresi nalar intelektual yang mengasah literasi dalam diskusi, dan bukan persekusi.
Hal yang amat mustahil apabila Imam Bukhari gagal paham mengenai dhamir ه (hu) pada frase الا وجهه sebagaimana yang termaktub dalam ayat Quran. Imam Bukhari menyebutkan
كل سيء هالك إلا وجهه الا ملكه
Imam Bukhari pasti lebih pakar dan lebih paham bahasa Arab sehingga tidak mungkin Imam Bukhari salah paham dan salah sasaran rujukan dhamir ه (hu) tersebut, dan mustahil bila Imam Bukhari salah merujukkan dhamir ه (hu) pada frase الا ملكه mengacu pada كل شيء (kullu syai'in). Imam Bukhari memahami bahwa dhamir ه (hu) pada term ملكه merujuk kepada ALLAH sebagai الخالق (Sang Pencipta) dan bukan merujuk pada frase كل شيء (kullu syai'in) sebagai ciptaan.
Kesimpulan
1. Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya telah menegaskan bahwa dhamir ه (hu) pada frase الا ملكه tersebut sejajar maksudnya dengan dhamir ه (hu) pada frase الا وجهه (illa wajhahu). Sementara itu, frase الا ملكه tersebut sebagai penjelas atau komentar atas frase الا وجهه (illa wajhahu). Artinya, dhamir ه (hu) pada kedua frase tersebut sama-sama mengacu kepada-Nya sebagai الخالق (Sang Pencipta).
2. Imam Bukhari sangat konsisten dalam menggunakan istilah ملكه dalam rangka menafsirkan makna ayat Quran yang dimaksudkan, dan istilah khas tersebut ternyata diulang sebanyak 2 kali dalam kitab Shahih-nya. Istilah yang dipakai sama, ortografi penulisannya sama, bacaannya seharusnya sama, karena kandungan maknanya juga sama. Dalam hal ini kita harus bisa membaca episteme (cara bernalar) Imam Bukhari dalam penggunaan ortografi tulisan ملكه tersebut. Kita tidak diperkenankan mengubah makna dari nukilan teks yang kita kutip sebagaimana yang termaktub dalam kitab Shahih-nya Imam Bukhari. Pengubahan makna yang disesuaikan dengan pemahaman kita karena alasan-alasan kepentingan tertentu, maka ini sama halnya kita berdusta atas nama otoritas Imam Bukhari sebagai ulama Salaf.
3. Ortografi tulisan ملكه dalam kitab Shahih Bukhari yang dibaca "mulkahu" atau pun "mulkihi" keduanya merujuk pada genre "isim maf'ul." Hal ini merupakan bacaan populer yang bersanad dari generasi ke generasi dalam periwayatan hadits. Hal yang sama sebagaimana ortografi tulisan ملكه dalam frase وشددنا ملكه yang dibaca "mulkahu" yang merujuk pada genre "isim maf'ul" dalam Qs. Shaad 38:20. Hal ini juga merupakan bacaan populer yang bersanad dari generasi ke generasi dalam periwayatan qira'ah Quran.
4. Imam Bukhari ternyata menggunakan metode ta'wil ketika term tertentu terkait dengan Dzat-Nya, dan beliau tidak memahaminya secara "dhahir." Hal ini terbukti tatkala beliau menafsirkan Qs. Hud 11:56. Lihat kitab Jami' Al-Bukhari (Riyadh, Saudi Arabia: Dar as-Salam, 1999), hlm. 806.
Download kitab Jami' Al-Bukhari