Minggu, 19 November 2017

Kisah nabi palsu Musailamah al-Kadzab


Sejarawan berbeda pendapat tentang namanya. Ada yang mengatakan ia adalah Musailamah bin Hubaib al-Hanafi. Yang lain mengatakan Musailamah bin Tsamamah bin Katsir bin Hubaib al-Hanafi. Ada yang mengatakan kun-yahnya adalah Abu Tsamamah. Ada pula yang menyebutnya Abu Harun.
Musailamah dilahirkan di wilayah Yamamah. Di sebuah desa yang sekarang ini disebut al-Jibliyah. Dekat dengan Uyainah di lembah Hanifah wilayah Nejd.
Usia Musailamah lebih tua dan lebih panjang dibanding Rasulullah ﷺ. Ada yang menyebutkan ia terbunuh pada usia 150 tahun saat Perang Yamamah. Ia adalah seorang tokoh agama di Yamamah dan telah memiliki pengikut sebelum wahyu kerasulan datang kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Sebelum mengaku sebagai nabi, Musailamah sering menyusuri jalan-jalan. Masuk ke pasar-pasar yang ramai oleh masyarakat Arab maupun non-Arab. Berjumpa dengan orang-orang berbagai macam profesi di sana. Pasar yang ia kunjungi semisal pasar di wilayah al-Anbar dan Hirah (Futuh al-Buldan oleh al-Baladzuri, Hal: 100).
Musailamah adalah seseorang yang memiliki kepribadian yang kuat (strong personality). Pandai bicara. Memiliki pengaruh di tengah bani Hanifah dan kabilah-kabilah tetangga. Tutur katanya lembut namun menipu. Pandai menarik simpati, bagi laki-laki maupun wanita. Ia menyebut dirinya Rahman al-Yamamah. Namun Allah berkehendak beda. Ia dikenal dengan nama Musailamah al-Kadzab (Musailamah sang pendusta) hingga hari ini.
Saat Musailamah mengumumkan kenabiannya (nabi palsu), Rasulullah ﷺ berada di Mekah. Ia mengutus orang-orang pergi ke Mekah untuk mendengarkan Alquran. Kemudian kembali ke Yamamah untuk membacakannya kepadanya. Setelah itu ia menirunya atau memperdengarkan ulang ke hadapan orang-orang sambil mengklaim itu adalah kalamnya (Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk oleh ath-Thabari, 3: 295).

Utusan Bani Hanifah Menemui Rasulullah

Di antara metode dakwah Rasulullah ﷺ adalah menulis surat kepada para penguasa dan raja-raja. Menyeru mereka untuk memeluk Islam. Seruan dakwah tersebut sampai juga kepada Haudzah bin Ali al-Hanafi. Seorang penguasa Yamamah yang beragama Nasrani. Setelah menerima surat tersebut, Haudzah mengajukan syarat agar kekuasaan diberikan kepadanya. Nabi ﷺ menolaknya. Tidak lama setelah itu Haudzah pun wafat.
Pada tahun ke-9 H, tokoh-tokoh bani Hanifah yang berjumlah beberapa belas orang laki-laki datang menemui Nabi ﷺ di Madinah. Di antara mereka terdapat Musailamah. Mereka datang untuk mengumumkan keislaman kepada Rasulullah ﷺ. Dan menyepakati bahwa Nabi ﷺ adalah pemimpin.
Bani Hanifah termasuk kabilah Arab yang terbesar jumlahnya. Mereka memiliki kedudukan dan terpandang. Karena merasa layak mendapatkan kepemimpinan, mereka mengajukan permintaan kepemimpinan. Mereka ingin agar Musailamah kelak menggantikan posisi Nabi setelah beliau wafat. Nabi ﷺ menolak permintaan mereka.
Utusan bani Hanifah pun kecewa dan mulai muncul keinginan untuk keluar dari Islam. Dan Nabi ﷺ telah menangkap gelagat ini. Ketika hendak pulang ke Yamamah, mereka berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Sesungguhnya kami meninggalkan salah seorang sahabat kami di perbekalan kami untuk menjaganya”.
Rasulullah ﷺ menanggapi, “Kedudukan dia (Musailamah) tidak lebih buruk daripada kedudukan kalian”. Artinya walaupun ia sebagai petugas yang menjaga perbekalan kalian, bukan berarti kedudukannya lebih rendah dari kalian. Mereka pun pulang ke Yamamah dengan membawa hadiah dari Nabi ﷺ.
Perkataan Nabi ﷺ terhadap Musailamah tersebut dijadikan sabda rekomendasi oleh Musailamah dan tokoh yang lain. Mereka klaim bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ meridhai Musailamah sebagai penggantinya. Tak lama Musailamah pun mengumumukan kenabiannya di tengah-tengah bani Hanifah. Sejak saat itulah ia dikenal sebagai Musailamah al-Kadzab.
Kemudian Nabi ﷺ menunjuk Nuharur Rijal bin Unfuwah untuk mengajarkan agama kepada penduduk Yamamah. Ibnu Unfuwah adalah laki-laki yang berilmu, luas pandangannya, dan cerdas. Siapa sangka, ternyata Ibnu Unfuwah malah bergabung dengan Musailamah. Kesungguhannya di hadapan Rasulullah ﷺ hanyalah riya’ semata. Ibnu Unfuwah mengakui kenabian Musailamah. Menurutnya Musailamah bersama-sama Nabi Muhammad ﷺ dalam risalah kenabian. Orang-orang bani Hanifah pun simpati kepadanya. Dan Musailamah menjadikannya orang kepercayaan (Futuh al-Buldan oleh al-Baladzuri, Hal: 97, Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk oleh ath-Thabari, 3: 137-138, dan al-Bidayah wa an-Nihayah oleh Ibnu Katsir, 5: 50-52).

Rasulullah ﷺ Berbalas Surat dengan Musailamah

Setelah klaim kenabiannya diterima di tengah-tengah kaumnya, rasa percaya diri Musailamah kian bertambah. Semakin jauhlah kesesatannya. Ia mulai memposisikan diri sebagai seorang utusan Allah. Ia meniru Nabi Muhammad ﷺ yang berdakwah melalui surat kepada para raja dan penguasa. Saking percaya dirinya, ia mengirim surat kepada Nabi Muhammad ﷺ:

مِنْ مُسَيْلِمَةَ رَسُولِ اللَّهِ، إلَى مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ: سَلَامٌ عَلَيْكَ، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي قَدْ أُشْرِكْتُ فِي الْأَمْرِ مَعَكَ، وَإِنَّ لَنَا نِصْفَ الْأَرْضِ، وَلِقُرَيْشٍ نِصْفَ الْأَرْضِ، وَلَكِنَّ قُرَيْشًا قَوْمٌ يَعْتَدُونَ

“Dari Musailamah seorang rasulullah kepada Muhammad seorang rasulullah.
Keselamtan atasmu, amma ba’du:
Sungguh aku sama denganmu dalam kerasulan ini. Bagi kami bagian bumi tertentu dan bagi Quraisy bagian bumi lainnya. Akan tetapi orang-orang Quraisy adalah kaum yang melampaui batas.”
Perhatikanlah, para penyeru kesesatan sejak dulu terbiasa menggunakan pilihan kata yang indah untuk menipu manusia. Musailamah menyebut Nabi Muhammad sebagai orang yang melampaui batas. Karena ingin menguasai seluruh jazirah Arab. Sementara ia mengisyaratkan bahwa dirinya adalah orang yang bijak karena ingin berbagi.
Demikian juga para penyeru kesesatan di zaman ini, mereka menggunakan bahasa yang indah untuk memikat hati. Mereka sebut ajaran mereka mencerahkan sementara berpegang kepada Alquran dan sunnah adalah kejumudan dan kaku. Mereka sebut ajaran mereka toleran. Sementara yang lainnya adalah radikal.
Rasulullah ﷺ tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Beliau tidak ingin keraguan dan kerancuan ini tersebar. Beliau ﷺ pun membalas surat Musailamah:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ، إلَى مُسَيْلِمَةَ الْكَذَّابِ: السَّلَامُ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى. أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ الْأَرْضَ للَّه يُورَثُهَا مَنْ يُشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ، وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad utusan Allah kepada Musailamah sang pendusta.
Keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk, amma ba’du:
Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”
Setelah membaca surat itu, Musailamah memutilasi sahabat Nabi, Hubaib bin Zaid radhiallahu ‘anhu, yang Nabi tugaskan untuk mengantarkan surat kepada Musailamah al-Kadzab. Peristiwa ini terjadi di akhir tahun ke-10 H.

Fanatik Suku, Sajak Pun Disangka Wahyu

Musailamah mulai menjadikan Yamamah sebagai tanah haram. Ia juga mulai menyusun sajak yang ia sebut sebagai Alquran. Al-Mutasyammas bin Muawiyah, paman dari al-Ahnaf bin Qais, pernah mendengar sajak-sajak Alquran palsu yang dibacakan oleh Musailamah. Setelah keluar dari majelis Musailamah ia berkomentar, “Sungguh ia seorang pendusta”. Al-Ahnaf juga mengomentari, “Dia bukanlah nabi yang sebenarnya. Bukan pula seorang yang pintar dalam berpura-pura menjadi nabi”.
Orang-orang Yamamah yang mengikuti Musailamah begitu fanatik dengan dakwah kenabiannya. Mereka bangga orang-orang dari keluarga Rabiah bersaing dengan keluarga Mudhar. Yakni keturunan Rabiah juga punya nabi sebagaimana keturunan Mudhar punya nabi, yakni Nabi Muhammad ﷺ. Pengakuan kenabian terhadap Musailamah sangat dipengaruhi fanatisme kabilah dan suku.
Suatu hari Thalhah an-Namiri datang ke Yamamah untuk bertemu Musailamah. Ia ingin mendengar langsung dakwahnya dan menguji kenabian pembuat wahyu palsu ini. Ketika sampai di majelis Musailamah, Thalhah menyebut nama Musailamah langsung. Kaum Musailamah menjawab, “Sebut dia rasulullah!”. “Tidak mau, sampai aku melihatnya dulu”, kata Thalhah.
Ketika Musailamah datang, Thalhah berkata, “Engkau Musailamah?” “Iya”, jawab nabi palsu si tukang tipu. “Siapa yang datang kepadamu?” Tanya Thalhah. Musailamah menjawab, “Rahman (Allah pen.)”. “Dalam keadaan bercahaya atau dalam kegelapan?”, selidik Thalhah. “Dalam kegelapan”, jawab Musailamah.
Thalhah berkata, “Sungguh aku bersaksi engkau adalah pendusta. Dan Muhammad adalah yang benar. Akan tetapi pendusta dari Rabiah lebih kami cintai dibanding orang yang jujur dari Mudhar”. (Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk oleh ath-Thabari, 3, 283-286, Asadul Ghabah oleh Ibnul Atsir, 1: 443, dan al-Mufashshal fi Tarikh al-Arab Qobla al-Islam oleh Jawad Ali, 6: 97).
Untuk menguatkan posisinya, Musailamah menikahi seorang perempuan dari bani Tamim. Kabilah besar lainnya di masyarakat Arab. Perempuan itu adalah Sajah binti al-Harits bin Suwaid at-Tamimiyah. Wanita ini memiliki kesamaan degnan Musailamah, sama-sama mengaku nabi. Ia mengajak kaumnya bani Tamim dan paman-pamannya dari kabilah Taghlib dan kabilah-kabilah Rabi’ah lainnya. Bersatulah kelompok besar ini dalam fanatisme kesukuan mengklaim sebuah kedustaan. Kemudian mereka menantang kekhalifahan Abu Bakar di Madinah.
=============================================

Presiden Republik Indonesia ke-4 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan tegas menyatakan, kaum Wahabi menjadi keras dan merasa benar sendiri, tak lain karena pengaruh kerja samanya dengan Dinasti Saudi.
"Kaum Wahabi keras, itu karena kerja sama dengan Dinasti Saudi. Itu yang penting. Penting sekali. Dinasti
Saudi ini mengidap rasa rendah diri. Kenapa? Karena mereka keturunan Musailamah al-Kadzab."
Demikian disampaikan Mantan Ketua PBNU itu pada diskusi buku karya Stephen Sulaiman Schwartz berjudul Dua
Wajah Islam: Moderatisme Vs Fundamentalisme dalam Wacana Global, di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas
Paramadina Jl. Gatot Subroto, Kav. 96-97, Mampang Prapatan Jakarta Selatan, Rabu, (31/10/2007) malam. Buku ini
berjudul asli The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud from Tradition to Terror (2002) yang diterjemahkan
dan diterbitkan kembali oleh the WAHID Institute pada September, 2007.
Pada jaman Nabi Muhammad SAW, Musailamah al-Kadzab (Sang Penipu) pernah mengaku menjadi nabi. Dia dulu
tinggal di Yalamlam, daerah antara Jedah dan Yaman. Dan, kata Gus Dur, Dinasti Saudi dulu menamai istananya
dengan Istana Yalamlam.
"Ketika Faishal menjadi raja, nama itu diubah menjadi Istana Riyadh. Soal ini kita harus tahu persis sejarahnya,
biar kita tidak berat sebelah", pinta Gus Dur.
"Jadi, sikap rendah diri itu lalu ditutupi dengan sikap seolah paling benar sendiri. Wahabi dijadikan alat untuk
menutupi masa lalu Dinasti Saud saja,"tegas Gus Dur.
"Saya tahu ini dari informasi-informasi yang masuk. Saya bicara apa adanya. Obyektifitas itu penting dan menuntut sikap yang betul-betul mendalam tanpa pikiran macam-macam", imbuhnya.

مسيلمة الكذاب

مسيلمة بن حبيب الحنفي، أشهر المتنبئين وأخطرهم في الجزيرة العربية، وهو من يعرف في كتب السير والتاريخ والتراجم بمسيلمة الكذاب، ادعى النبوة زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم واستفحل أمره زمن أبي بكر الصديق، وشكلت حركته تهديدا واضحًا لدولة الإسلام الناشئة، فمن هو مسيلمة الكذاب؟ وما موقف رسول الله منه؟ وما طبيعة أسجاعه؟

من هو مسيلمة الكذاب؟
اختلف في اسمه، فقالوا: مسيلمة بن حبيب الحنفي الكذاب، وقالوا: مسيلمة بن ثمامة بن كثير بن حبيب الحنفي، ويكنى: أبا ثُمَامَةَ، وقيل: أبا هارون، وفي الأمثال: "أكذب من مسيلمة". ولد ونشأ في اليمامة، في القرية المسماة اليوم بالجبيلة، بقرب العيينة بوادي حنيفة في نجد.

تذكر الأخبار أن مسيلمة: "كان قصيًرا شديد الصفرة أخنس الأنف أفطس"، وكان أكبر عمرًا من رسول الله صلى الله عليه وسلم، وأنه قد تكهن وتنبأ باليمامة ووجد له أتباعًا قبل نزول الوحي على النبي صلى الله عليه وسلم، وأن أهل مكة كانوا على علم برسالته، ويذكر أهل الأخبار أن مسيلمة كان ابن مائة وخمسين سنة حين قُتل في اليمامة.

وكان مسيلمة قبل ادعائه النبوة يتجول في الطرقات، يطوف في الأسواق التي كانت بين دور العرب والعجم، مثل الأبلة وبقة (موضع قريب من الحيرة)، والأنبار والحيرة، يلتمس تعلم الحيل والنِّيرَجَات، واحتيالات أصحاب الرقى والنجوم والخط ومذاهب الكهان والعياف والسحرة، ويتابع أخبار المتنبئين [1].

شخصية مسيلمة الكذاب [*]
ويبدو أن مسيلمة الكذاب كان على قدر من قوة البيان والشخصية، على عكس ما تصفه المصادر بأنه كان "رويجلا، أصيفر، أخينس"، إذ ترك تأثيرًا ملموسًا في أوساط بني حنيفة، والقبائل المجاورة، اشتهر بالخلابة، والقدرة على استهواء النفوس من الرجال والنساء، وخليق بهذا أن يظن به السحر، وتنتظر منه الخوارق بين الجهلاء؛ لأنهم يرون سلطانه ولا يعلمون مأتاه، فيخيل إليهم أنه سر من الغيب، أو معونة من الجنة والشياطين، وهو على هذا كان يعين حيلته بما استطاع من صناعة الشعوذة، والألاعيب التي كان يحذقها بعض الكهان في بلاد العرب والعجم، ولم يكن في طبيعته بمعزل عن طبائع السحرة، وأدعياء الغيب، وتسمى بالرحمن، فقيل له: رحمن اليمامة.

كان مسيلمة يدعي النبوة ورسول الله بمكة، وكان يبعث بأناس إليها ليسمعوا القرآن ويقرؤوه على مسامعه، فينسج على منواله أو يسمعه هو نفسه للناس زاعمًا أنه كلامه [2].

وفد بني حنيفة إلى رسول الله
وعندما كتب رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى الملوك والأمراء يدعوهم إلى الإسلام، كتب إلى هوذة بن علي الحنفي النصراني وأهل اليمامة، وأرسل كتابه مع سليط بن قيس بن عمرو الأنصاري، فاشترط هوذة أن يجعل الأمر له من بعده، فرفض النبي صلى الله عليه وسلم وقال: "لا ولا كرامة، اللهم أكفنيه"، فمات بعد قليل.

وفي العام التاسع للهجرة الذي عم فيه الإسلام ربوع الجزيرة العربية أقبل وفد بني حنيفة وفيهم مسيلمة الكذاب إلى المدينة في بضعة عشر رجلًا برئاسة سلمى بن حنظلة، وفيهم الرجَّال بن عنفوة أحد وجهاء القبيلة، لإجراء مباحثات مع النبي صلى الله عليه وسلم، وإعلان إسلامهم، ويبدو أنهم أمَّلوا مقابل دخلوهم في الإسلام، الحصول على موافقة من النبي صلى الله عليه وسلم لخلافته.

ويذكر أن بني حنيفة تعد من أضخم القبائل العربية، وأوفرهم حظًّا بالمنعة والجاه، وقد دفعوا أولاً بمسيلمة للوقوف على رأي النبي صلى الله عليه وسلم، فاجتمع به منفردًا، وطلب منه أن يجعل الأمر له من بعده، فرفض النبي صلى الله عليه وسلم وقال له: "لو سألتني هذا القضيب -وكان بيده- ما أعطيتكه، وإني لأراك الذي رأيت فيه ما رأيت".

ثم اجتمع أعضاء الوفد بالنبي صلى الله عليه وسلم في المسجد بدون مسيلمة، والواقع أن ذلك كان متعمدًا، ولم تذكر المصادر ما دار في هذا الاجتماع، إنما روت خروج أعضاء الوفد، وقد اعتنقوا الإسلام، وأعطاهم النبي جوائزهم، غير أنه استنادًا إلى تطور الأحداث بعد ذلك يحملنا على الاعتقاد بأنهم كرروا طلب مسيلمة بأن يكون الأمر لهم بعد النبي صلى الله عليه وسلم، وأن النبي رفض طلبهم، ولما قرروا العودة خاطبوا رسول الله قائلين: "إنا خلفنا صاحبًا لنا في رحالنا يبصرها لنا، وفي ركابنا يحفظها علينا".

وهذا دليل على أن تخلف مسيلمة كان متعمدًا وفق خطة مبيَّتة علهم ينتزعون من النبي صلى الله عليه وسلم وعدًا، أو ما يشبه الوعد، بتحقيق هدفهم، ولا شك بأن رسول الله أدرك فورًا هدفهم بأن صاحبهم هذا هو مسيلمة، فلم يميزه، وساواه بأصحابه، وقال صلى الله عليه وسلم: "ليس بشركم مكانًا يحفظ ضيعة أصحابه"، فقيل ذلك لمسيلمة، فقال: "عرف أن الأمر إليَّ من بعده"، فلما عادوا إلى ديارهم أدعى النبوة متخذًا من حديث رسول الله مع وفد قومه، وإخباره أنه ليس بشرهم مكانًا؛ دليلًا على دعواه، وهذا تفسير أحادي الجانب يتناقض مع قول النبي صلى الله عليه وسلم الصريح بشأن وضعه.

ومهما يكن من أمر، فقد أدرك النبي صلى الله عليه وسلم من خلال ما جرى مع وفد بني حنيفة، أن هؤلاء القوم سوف يغدرون به، ويرتدون عن الإسلام، وأن صاحبهم سيقودهم إلى شر عاقبة يهلكهم بها، فهم وهو في شر سواء.

واستغل نَهَار الرِّجَال بن عنفوة وجوده في المدينة، فتعلم القرآن وتفقه في الدين، ووقف على تعاليم الإسلام، وكان هذا الرجل ذا بصيرة، وذكاء فعينه النبي معلمًا لأهل اليمامة يفقههم في الدين، ويرد من اتبع منهم مسيلمة، ويشغب معهم عليه، ويشد من عزائم المسلمين. لكن نهارًا كان أعظم فتنة على بني حنيفة من مسيلمة، وما كان تفقهه إلا رياء، فهو لم يلبث أن انضم إليه، وأقر بنبوته، وشهد بأن محمدًا أشركه معه في الرسالة، فالتف بنو حنيفة حوله، ومن جهته فقد وضع مسيلمة كل ثقته بنَهَار يستشيره في كل أمر يقلد فيه محمدًا [3].

مراسلات بين رسول الله ومسيلمة الكذاب
وبعد أن عاد مسيلمة الكذاب إلى قومه، وأظهر دعوته، كتب إلى النبي صلى الله عليه وسلم كتابًا يدعي فيه مشاركته في الرسالة، ويساومه في اقتسام الملك والسيادة في جزيرة العرب، فقال: "مِنْ مُسَيْلِمَةَ رَسُولِ اللَّهِ، إلَى مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ: سَلَامٌ عَلَيْكَ، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي قَدْ أُشْرِكْتُ فِي الْأَمْرِ مَعَكَ، وَإِنَّ لَنَا نِصْفَ الْأَرْضِ، وَلِقُرَيْشٍ نِصْفَ الْأَرْضِ، وَلَكِنَّ قُرَيْشًا قَوْمٌ يَعْتَدُونَ".

وأبى النبي صلى الله عليه وسلم أن يترك الفرصة لمثل هؤلاء الكذابين للتشكيك في أمر الدين، فكتب رسالة وأعطاها إلى حبيب بن زيد رضي الله عنه أحد الصحابة الشباب، وفيها: "بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ، إلَى مُسَيْلِمَةَ الْكَذَّابِ: السَّلَامُ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى. أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ الْأَرْضَ للَّه يُورَثُهَا مَنْ يُشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ، وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ". وكان ذلك في آخر سنة عشر من الهجرة.

فما كان من مسيلمة الكذاب إلا أن أسر حبيب بن زيد وقيده، فكان مسلمة إذا قال له: أتشهد أن محمدًا رسول الله؟ قال: نعم، وإِذا قال: أتشهد أني رسول الله؟ قال: أنا أصم لا أسمع، ففعل ذلك مرارًا، فقطعه مسيلمة عضوا غضوا، فمات شهيدا رضي الله عنه.

آمنوا بمسيلمة وشهدوا بكذبه
واتخذ مسيلمة حرمًا باليمامة، فأخذ الناس به، فكان محرمًا، ونظم كلامًا مضاهاة للقرآن، وقصده الناس ليتسمعوا منه بعد أن اشتهر أمره، وتمكن من التأثير في بعضهم، وكان ممن قصده المتشمس بن معاوية، عم الأحنف بن قيس، فلما خرج من عنده قال عنه: "إنه كذاب، وقال عنه الأحنف بن قيس وكان قد رآه أيضًا: "ما هو بنبي صادق، ولا بمتنبئ حاذق".

عرف مسيلمة بين أتباعه برسول الله، وكانوا يتعصبون له، ويؤمنون بدعوته إيمانًا شديدًا، وكانت المنافسة بين قبائل مضر وربيعة على أشدها، والأخيرة تعصب لنسبها، وتأنف أن تعلوها قريش بفضل النبوة والرئاسة، وليس أدل على ذلك من طلب هوذة الذي أشرنا إليه، بالإضافة إلى رأي طلحة النميري الذي قدم إلى اليمامة للاجتماع بمسيلمة، والوقوف على حقيقة دعوته، واختبار نبوته، إذ عندما طلب الاجتماع به وسماه باسمه، مسيلمة، رد عليه قومه: مه يا رسول الله، فقال: لا حتى أراه، فلما جاءه قال: أنت مسيلمة؟ قال: نعم، قال: من يأتيك؟ قال: رحمن، قال: أفي نور أو في ظلمة؟ فقال: في ظلمة، فقال: "أشهد أنك لكذاب وأن محمدًا صادق؛ ولكن كذاب ربيعة أحب إلينا من صادق مضر" [4].

وتعاون مسيلمة في إحدى مراحل ادعائه النبوة مع سجاح بنت الحارث بن سويد التميمية، التي أدعت هي الأخرى النبوة، والتف حولها قومها بنو تميم، وأخوالها من تغلب وغيرهم من قبائل ربيعة، وتزوجها مسيلمة، وانضم أتباعها إليه، فتقوى بهم، وتحدى حكومة أبي بكر في المدينة.

أسجاع مسلمة الكذاب [**]
وقد حاول مسيلمة الكذاب أن يضاهي القرآن تغريرا بعقول السذج من قومه فجاء كلامه سخيفا، وإنا بعد ذلك نورد من أسجاعه ما عثرنا عليه ليتبين القارئ هذا المتنبئ ومبلغ علمه:

1- وَاللَّيْلُ الدَّامِسْ، وَالذِّئْبُ الْهَامِسْ، مَا قَطَعَتْ أَسَدٌ مِنْ رَطْبٍ وَلَا يَابِسْ.

2- لَقَدْ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَى الْحُبْلَى، أَخْرَجَ مِنْهَا نَسَمَةً تَسْعَى، مِنْ بَيْنِ صِفَاقٍ وَحَشَا.

3- إن بني تميم قوم طهر لقاح، لا مكروه عليهم ولا إتاوة، نجاورهم ما حيينا بإحسان، نمنعهم من كل إنسان، فإذا متنا فأمرهم إلى الرحمن.

4- وَالْفِيلْ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْفِيلْ، لَهُ زَلُّومٌ طَوِيلْ.

5- وَالْمُبَذِّرَاتِ زَرْعًا، وَالْحَاصِدَاتِ حَصْدًا، وَالذَّارِيَاتِ قَمْحًا، وَالطَّاحِنَاتِ طِحْنًا، وَالْخَابِزَاتِ خَبْزًا، وَالثَّارِدَاتِ ثَرْدًا، وَاللَّاقِمَاتِ لَقْمًا، إِهَالَةً وَسَمْنًا، لَقَدْ فُضِّلْتُمْ عَلَى أَهْلِ الْوَبَرِ، وَمَا سَبَقَكُمْ أَهْلُ الْمَدَرِ، رَفِيقَكُمْ فَامْنَعُوهُ، وَالْمُعْتَرَّ فآووه، والناعي فواسوه.

6- يَا ضِفْدَعُ بَنَتَ الضِّفْدَعِينْ، نَقِّي كَمْ تَنِقِّينْ، لَا الْمَاءَ تُكَدِّرِينْ، وَلَا الشَّارِبَ تَمْنَعِينْ، رَأْسُكِ فِي الْمَاءِ وَذَنَبُكِ فِي الطِّينْ.

7- وقد ذكر ابن كثير أن عمرو بن العاص -قبل إسلامه- قابل مسيلمة الكذاب فسأله مسيلمة: ماذا أنزل على صاحبكم في هذا الحين؟ فقال له عمرو: لقد أنزل عليه سورة وجيزة بليغة. فقال: وما هي؟ قال: أنزل عليه: {وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ} [العصر:1 - 3]، قال: ففكر مسيلمة ساعة،، ثم رفع رأسه فقال: ولقد أنزل عليَّ مثلها. فقال له عمرو: وما هو؟. قال مسيلمة: "يَا وَبَرُ يَا وَبَرُ، إِنَّمَا أَنْتِ أُذُنَانِ وَصَدْرٌ، وَسَائِرُكِ حَقْرٌ نَقْرٌ". ثم قال: كيف ترى يا عمرو؟ فقال عمرو: والله إنك لتعلم أني أعلم إنك لتكذب.

قال أبو بكر الباقلاني رحمه الله: "فأما كلام مسيلمة الكذاب وما زعم أنه قرآن فهو أخس من أن ننشغل به وأسخف من أن نفكر فيه، وإنما نقلنا منه طرفًا ليتعجب القارئ وليتبصر الناظر، فإنه على سخافته قد أضل، وعلى ركاكته قد أزل، وميدان الجهل واسع" [5].

[1] البلاذري: فتوح البلدان، ص100. السهيلي: الروض الأنف،2/ 340. اليعقوبي: تاريخ اليعقوبي، 1/ 120. الزركلي: الأعلام، 7/ 226.
[*] سهيل طقوش: تاريخ الخلفاء الراشدين الفتوحات والإنجازات السياسية، ص50 - 54.
[2] الجاحظ: الحيوان، 4/ 369 وما بعدها. الطبري: تاريخ الرسل والملوك، 3/ 295. العقاد: عبقرية خالد، ص97.
[3] البلاذري: فتوح البلدان، ص97. الطبري: تاريخ الرسل والملوك، 3/ 137 - 138، 282 -287. ابن كثير: البداية والنهاية، 5/ 50 - 52. السهيلي: الروض الأنف، 4/ 225.
[4] الطبري: تاريخ الرسل والملوك، 3/ 283 - 286. الجاحظ: الحيوان، 5/ 530. ابن الأثير: أسد الغابة، 1/ 443. جواد علي: المفصل في تاريخ العرب قبل الإسلام، 6/ 97.
[**]محمد رضا: أبو بكر الصديق أول الخلفاء الراشدين، تحقيق: الشيخ خليل شيحا، ص45 – 53.
[5] ابن سعد: الطبقات الكبرى: 1/ 317، 5/ 550. البدء والتاريخ: 5/ 163. الذهبي: سير أعلام النبلاء: 3/ 96. ابن كثير: البداية والنهاية: 6/ 336، تفسير القرآن العظيم: 8/ 479. ابن حجر: الإصابة في تمييز الصحابة: 2/ 539. الباقلاني: إعجاز القرآن، تحقيق: سيد صقر: ص156


Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar