Nasionalisme Tidak Ada Dalilnya, Ataukah Anda Tidak Tahu Dalilnya?
Nasionalisme Banyak beredar di FB pernyataan seorang ustadz muallaf
dari sebuah harokah yang kami tidak ketahui dari mana dia belajar
ilmunya, yang menyatakan bahwa nasionalisme atau cinta tanah air tidak
ada dalilnya.
Kita baca dahulu sebuah riwayat:
عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَمَّا أُخْرِجَ مِنْ مَكَّةَ : اِنِّي لَأُخْرَجُ مِنْكِ وَاِنِّي
لَأَعْلَمُ أَنَّكِ أَحَبُّ بِلَادِ اللهِ اِلَيْهِ وَأَكْرَمُهُ عَلَى
اللهِ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكَ أَخْرَجُوْنِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ مِنْكِ
(مسند الحارث – زوائد الهيثمي – ج 1 / ص 460)
“Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas bahwa saat Nabi diusir dari Makkah beliau berkata: Sungguh
aku diusir dariMu (Makkah). Sungguh aku tahu bahwa engkau adalah Negara
yang paling dicintai dan dimuliakan oleh Allah. Andai pendudukmu (Kafir
Quraisy) tidak mengusirku dari mu, maka aku takkan meninggalkanmu
(Makkah)” (Musnad al-Haris, oleh al-Hafidz al-Haitsami 1/460)
Dan ketika Nabi pertama sampai di Madinah beliau berdoa lebih dahsyat:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ
حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ (صحيح
البخارى – ج 7 / ص 161)
“Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah
seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah”
(HR al-Bukhari 7/161)
Jadi cinta tanah air ada dalilnya atau hanya karena tidak tahu dalilnya???
Dalam QS. al-Baqarah ayat 126, Allah Swt. berfirman:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ
أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ۖ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim As. berdoa: “Ya
Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah
rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka
kepada Allah dan hari kemudian.”
Nabi Ibrahim As. berdoa agar
tanah airnya: a) Menjadi negeri yang aman sentosa, b) Penduduknya
dilimpahi rizki, c) Penduduknya iman kepada Allah dan hari akhir.
Dalam ayat yang lain yang serupa dengan ayat di atas ada di QS. Ibrahim ayat 35:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim As. berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini (Mekah), negeri yang aman. Dan jauhkanlah aku beserta anak
cucuku dari menyembah berhala-berhala.”
Ini menunjukkan Nabi
Ibrahim As. adalah seseorang yang begitu mendalam mencintai tanah
airnya. Kemudian di dalam QS. an-Nahl ayat 123 kita diperintah mengikuti
millah (jejak) NabiI brahim As.:
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad Saw.): “Ikutilah agama
Ibrahim seorang yang hanif.” Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.”
Salah satu dari millah Nabi Ibrahim As.
adalah mencintai tanah air. Mengapa harus mencintai tanah air? Dalam
kitab Jami’ ash-Shaghir jilid 1 bab huruf Ta’ halaman 222, Rasulullah
Saw. bersabda: “Jagalah dirimu dari bumi, maka sesungguhnya bumi itu
adalah ibumu.”
Adalah perintah untuk menjaga diri sendiri dan ibu
pertiwi (tanah air) dari tindakan-tindakan negatif dari diri sendiri
maupun tindakan orang luar.
Al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari juz 3 halaman 261, ketika mensyarahi hadits Imam Bukhari dari sahabat Anas Ra.:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ
مِنْ سَفَرٍ فَأَبْصَرَ دَرَجَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ
كَانَتْ دَابَّةً حَرَّكَهَا
“Adalah Rasulullah Saw. jika pulang
dari bepergian dan melihat dataran tinggi kota Madinah mempercepat jalan
untanya dan bila menunggang hewan lain beliau memacunya.”
Al-Hafidz Ibn Hajar berkata:
وفي الحديث دلالة على فضل المدينة ، وعلى مشروعية حب الوطن والحنين إليه
“Dalam hadits tersebut menunjukkan tentang keutamaanya kota Madinah, dan disyariatkannya cinta tanah air dan rindu kepadanya.”
Dalam QS. ar-Rum ayat 41, Allah Swt. berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي
النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar).”
Di dalam kitab tafsir ar-Ruh al-Bayan, diriwayatkan ketika turun surat al-Qashash ayat 85:
إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ
Saat itu Nabi Saw. dilanda rasa rindu yang sangat kepada kota Makkah,
karena memang Makkah adalah kota kelahiran dan tempat tinggal beiau,
negeri datuk-datuk dan kerabat-kerabat beliau serta kota datuk utama
beliau yaitu Sayyidina Ibrahim As. Sehingga ayat tersebut merupakan satu
kabar gembira dari Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. dan suatu hal yang
benar-benar akan direalisasikan oleh Allah Swt.
Sehingga
seakan-akan Allah Swt. mengatakan: “Jangan kamu mengira wahai Muhammad
bahwa nasibmu itu sama dengan ayah kamu Ibrahim yang hijrah dari
Negerinya Haran satu negeri kafir menuju kota suci dan tidak akan pernah
kembali lagi ke Haran. Jangan pula kamu mengira bahwa keadaanmu sama
dengan ayah kamu Ismail yang hijrah dari negeri yang suci menuju negeri
yang lebih suci.”
Kemudian penulis kitab tafsir ar-Ruh al-Bayan ini melanjutkan:
و في تفسير الاية اشارة ان حب الوطن من الايمان
“Dan dalam pengertian, kesimpulam serta tafsir dari ayat ini
menunjukkan bahwa cinta terhadap negeri adalah sebagian dari iman.”
Hadits memang maudhu’ tapi maknanya shahih. Tapi bagaimana para salaf
kita selalu mendengungkan ungkapan-ungkapan itu. Artinya kalau ditolak
serta merta juga tidak bisa karena secara makna juga tepat. Oleh karena
itu dalam kesimpulan selain menyebutkan derajatnya dalam kacamata
musthalah hadits juga harus ditampilkan bahwa secara makna shahih.
Maka seprti redaksi dalam kitab Asna al-Mathalib setelah menyebutkan
derajat hadistnya beliau juga menampilkan redaksi “tetapi maknanya
shahih” supya sampai dalam kesimpulan jangan sampai ditolak serta merta.
Jadi seperti Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari nampak sering
berbicara dengan ungkapan “Hubbul wathan minal iman”. Bukan berarti
beliau berdalil dan mengatakan bahwa itu adalah hadits. Akan tetapi
beliau mengajak rakyat untuk mencintai negeri ini. Beliau menggunakan
motto itu karena benar adanya secara makna.
Seperti halnya
kedudukan motto-motto yang lain seperti hadits-hadits maudhu’ yang lain
tapi maknanya shahih seperti “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang
lahad”, walaupun maudhu’ tapi maknanya benar bahwa jika menuntut ilmu
itu tak akan pernah terikat dengan waktu, usia dan keadaan. Bukan
berarti jika itu hadits dhaif kita dilarang untuk menyebutkannya seperti
yang didengung-dengungkan saudara-saudara kita dari aliran
Salafi-Wahabi.
Kemudian dalam kitab Dalil al-Falihin Syarh Riyadh
ash-Shalihin jilid 1 halaman 27 disebutkan: “Maka semestinya bagi orang
yang sempurna imannya hendak membuat kemakmuran akan tanah airnya
dengan amal shaleh.”
Yang dimaksudkan dengan cinta tanah air itu
adalah memakmurkan tanah airnya, memakmurkan dengan amal-amal shaleh
atau amal-amal yang baik. Sedangkan tanah air manusia itu ada dua macam:
1) Tanah air jasmani, yaitu bumi tempat kita lahir dan berpijak, dan 2)
Tanah air ruhani, yaitu tanah air akhirat, tempat dimana ruh kita
berasal dan akan kembali nantinya.
Kedua tanah air kita ini harus
dimakmurkan, baik tanah air ruhani maupun jasmani. Dimakmurkan dengan
perbuatan-perbuatan baik. Sehingga nantinya kita bisa menuai buahnya:
رَبَّنَا اَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلاَحِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Wallahu al-Musta’an A’lam.
Pancasila Dan Tahlilan
Renungan Hari Lahir Pancasila, 01 Juni
Diriwayatkan ‘bil makna’ dari beberapa Kyai, yang meriwayatkan dari
al-Maghfurlah KH. Yasin Yusuf (Da’i terkenal dari Blitar Jatim) yang
telah memberikan penafsiran sederhana dan unik tentang Pancasila yang
dikaitkan dg Tahlilan.
KH. Yasin Yusuf berkata: Kalau kita ingin
melihat pelaksanaan Pancasila yang benar dan tepat maka lihatlah orang
tahlilan yang biasanya diamalkan.
Pertama, orang tahlilan itu
pasti baca surat al-Ikhlas yang berbunyi Qulhu Allahu ahad Allahush
shomad. Itulah KETUHANAN YANG MAHA ESA dan di dalam tahlil pasti baca
itu, yang artinya Tuhan itu satu, dan juga pasti baca La ilaha illallah
(tiada tuhan selain Allah).
Kedua, orang tahlilan di lingkungan
NU itu siapa pun boleh datang dan ikut, tidak ada seleksi, tidak ada
pertanyaan, “Kamu bisa tahlil enggak? Kalau enggak bisa, tidak boleh
ikut”. Di lingkungan orang NU tidak seperti itu,”. Bahkan abangan atau
non muslim pun boleh ikut dan orang yang membid’ah-bid’ahkan tahlil pun
dipersilakan ikut, kalau mau. Tidak ada yang dibeda-bedakan. Itulah
KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
Ketiga, kalau melihat di
kampung-kampung, orang tahlilan itu duduknya bersila semua. Tidak
dibedakan duduknya seorang pejabat, kiai, santri, dan orang biasa.
Semuanya duduk bersila, rata. Di samping duduknya bersila semua,
rangkaian dzikir-dzikir yang dibaca pun sama dan seragam, cara bacanya
pun bareng. Itulah PERSATUAN INDONESIA terdapat dalam sila ke tiga
Pancasila.
Keempat, setelah itu, menjelang dimulai, di sanalah
mereka mencari pemimpin, mereka saling tuding, saling tunjuk, tapi juga
saling menolak jika ditunjuk. Satunya bilang “Anda saja yang mimpin” dan
yang lainnya juga bilang “Anda yang lebih pantas”, Di sinilah terjadi
musyawarah kecil-kecilan mencari seorang pemimpin tahlil. Setelah satu
orang terpilih, maka dialah yang memimpin tahlil. Itulah KERAKYATAN YANG
DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/ PERWAKILAN
Kelima, setelah tahlil selesai, “Berkat” (bingkisan berupa makanan)
dikeluarkan untuk diberikan kepada orang-orang yang tahlillan. Semuanya
mendapatkan “Berkat” yang sama tanpa ada perbedaan baik dalam bentuk,
tampilan dan isinya, semuanya sama. Itulah makna KEADILAN SOSIAL BAGI
SELURUH RAKYAT INDONESIA .
Timur Tengah tidak ada ulama yang nasionalis
Ketua Umum Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj mengatakan, di Timur
Tengah tidak ada ulama yang nasionalis, sedangkan di Indonesia seorang
ulama juga dikenal sebagai nasionalis.
Kiai asal Cirebon Jawa
Barat ini kemudian menyebut beberapa nasionalis Timur Tengah yang bukan
ulama, diantaranya Saddam Husain, dan Muammar Khadafi. Sementara dari
kalangan ulama yang tidak nasionalis diantaranya, Hasan Banna dan
pemikir sekaligus aktivis Islam politik Mesir, Muhammad Ghozali.
"Mereka ulama besar tapi bukan nasionalis. Yang nasionalis bukan ulama,"
jelas Kiai Said saat peresmian Masjid Al-Amin, Desa Pamotan Kecamatan
Pamotan Kabupaten Rembang, Selasa (17/5) kemarin.
Di Indonesia, lanjut kiai Said, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy'ari adalah ulama nasionalis. Begitu juga Kiai Wahab Chasbullah.
"Sampai-sampai KH Hasyim Asy'ari mengatakan, membela tanah air fardlu
'ain. Setiap orang wajib (membela tanah air), sama dengan shalat. Siapa
orang yang meninggal dalam rangka membela tanah air, mati sahid. Dan
siapa yang membela dan memihak penjajah, boleh dibunuh. Walaupun kiai
Hasyim tidak mengatakan kafir," ungkapnya.
"Dari sini KH Hasyim
Asy'ari mempunyai jargon, 'hubbul wathon minal iman'. Ini bukti betapa
nasionalismenya ulama Indonesia," jelas alumus Universitas Umm al-Qura,
Mekkah ini.
Kalau Tidak Ada KH Hasyim As’ary, Tidak Ada NKRI
Kawan KH Musthafa Bisri (Gus Mus) seorang pelukis keturunan Tionghoa
pernah memamerkan karyanya di musium OHD Magelang. Yang dilukis Hadratus
Syaikh KH Hasyim As’ayri dan gambar Gus Dur. Dalam hati, Gus Mus heran
ada pelukis cina tapi yang digambar Gus Dur. “Kalau tidak ada orang itu,
tidak ada NKRI,” pria itu menjawab batin Gus Mus sambil menuding
lukisan Mbah Hasyim.
Cerita itu diutarakan Gus Mus dalam
pengajian umum di Asrama Pelajar Islam Mathali’ul Anwar (APIMA),
Randusari, Rt. 04 Rw. 01, Tahunan, Jepara dalam rangka Haflah
At-Tasyakkur lil Ikhtitam ke 22, Senin (23/05/2016) malam. Ribuan orang
hadir dalam acara tersebut.
Pria itu, ujar Gus Mus, mengatakan
kalau Mbah Hasyim adalah kiainya kiai yang mencetak kiai-kiai di
Indonesia, yakni kiai-kiai yang menggerakkan orang Indonesia sehingga
Indonesia merdeka. Dia juga mengajak Gus Mus membangun museum NU karena
NU, -bagi pelukis yang tidak disebut namanya itu,- adalah kelanjutan
pondok-pondok pesantren para kiai. Museum NU itu dimaksudkan untuk
meluruskan sejarah.
Banyak para kiai dan santri pesantren yang
berperan dalam kemerdekaan Indonesia namun tidak tertulis dalam sejarah.
“Wah, sampeyan itu tidak tahu. Kiai-kiai itu memang tidak mau disebut
jasanya karena takut pahala ikhlasnya hilang,” ujar Gus Mus kepada sang
pelukis.
Para kiai itu, lanjut Gus Mus dalam pengajian, tidak ada
yang usul diri ingin disebutkan jasa-jasanya. Semua orang sudah tahu,
sebelum ada TNI, ada Sabilillah dan Hizbullah. Semua yang membuat adalah
para kiai.
Tapi memang betul, yang heroik mengajak perang pada
10 November (Hari Pahlawan Nasional), tidak disebut nama-nama dan
aktornya. Ketika sekutu mendarat di Surabaya, ketika itu pemerintah
pusat di Jakarta tidak mengambil kebijakan apapun. Semuanya diserahkan
kepada daerah. Akhirnya Bung Tomo sowan ke KH Hasyim As’ary yang
kemudian melahirkan resolusi jihad.
“Sayangnya, siapa yang
memimpin 10 November tidak dicatat dalam sejarah, yaitu Kiai Abbas
Buntet. Santri-santri banyak yang jadi korban, tidak ada catatannya
juga. Begitu juga Kiai Subki Parakan yang terkenal Bambu Runcingnya,
juga tidak tercatat,” papar Gus Mus.
Teman pelukis Gus Mus itu
mengingatkan temuannya atas sebuah buku cetakan Kuwait dengan penulis
Sayyid Muhammad Hasan Syihab, seorang wartawan Arab yang pernah bertugas
meliput ketika Revolusi Indonesia. “Tulisannya panjang, mulai zaman
Diponegoro hingga kemerdekaan,” tuturnya.
“Judulnya, al-Allamah
Muhammad Hasyim Asy’ary Wadli’u Ashliyati Istiqlali Indonesia. Kalau
diterjemahkan jadinya Maha Kiai Hasyim Asy’ary Peletak Batu Pertama
Kemerdekaan Indonesia,” tandas Gus Mus.
Indonesia Bangsa Terpilih
Allah memperingatkan kemerdekaan Indonesia dengan angka 17, 8, dan 45.
Jelaskan Makna Tanggal Kemerdekaan, Mbah Moen: Indonesia
Mustasyar PBNU KH Maimoen Zubair dalam sebuah acara pengajian, Kamis (14/4) malam di Desa Gandrirojo, Kecamatan Sedan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah mengungkapkan, bangsa Indonesia adalah benar-benar bangsa yang terpilih. Tidak ada dipermukaan bumi orang Islam terbanyak seperti Indonesia. Sampai Allah memperingatkan kemerdekaan Indonesia dengan angka 17, 8, dan 45.
Dalam kesempatan tersebut Mbah Moen sapaan akrabnya menjelaskan terkait rangkaian angka 17, 8, dan 45. "Ini angka sembahyang, sembahyang angka yang harus diketahui yaitu tujuh belas, delapan, dan empat lima. Kalau tidak tahu ini tidak sah shalatnya," terangnya.
Ia juga mengatakan, bahwa dalam lambang garuda pancasila terdapat dua sayap dengan jumlah bulu 17 di kanan, dan 17 disebelah kiri. Ia menjelaskan lambang angka 17 ini merupakan jumlah rukunnya shalat. Yakni, niat, takbiratul ihram, berdiri, membaca al-fatihah, rukuk, thumakninah dalam rukuk, iktidal (berdiri bangun dari rukuk), thumakninah dalam iktidal, sujud dua kali, thumakninah dalam sujud, duduk diantara dua sujud, thunakninah dalam duduk diantara dua sujud, membaca tasyahud akhir.
"Kemudian duduk (ketika membaca) tasyahud akhir, membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dalam duduk tasyahud akhir, (membaca) salam, tertib (mengerjakan secara berurutan)," tambah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Kabupaten Rembang tersebut.
Tujuh belas yang kedua, lanjut Mbah Moen, merupakan jumlah rakaat shalat sehari-semalam. Yakni Mahgrib tiga rakaat, Isya empat rakaat, Subuh dua rakaat, Dzuhur empat rakaat, dan Ashar empat rakaat.
Sedangkan angka delapan menjelaskan sebagai tolaknya neraka dan sebabnya masuk surga. Lebih lanjut ia mengatakan tentang tujuh anggota sujud, meliputi, jidat, kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki. "Tujuh ini sebagai penolak neraka, karena pintu neraka ada tujuh," ujarnya.
"Ditambah satu lagi, jika kita ingin masuk surga harus ingat sama Allah. Jadi jumlahnya genap delapan, karena delapan ini merupakan jumlah pintu surga," terang kiai yang kini berusia 91 tahun tersebut.
Terakhir ia menjelaskan tentang angka empat lima, bahwa setiap orang Islam harus membaca syahadat empat kali, dan lima kali. Malam empat kali, Maghrib dan Isya. Sedangkan siang hari lima kali, Subuh, Dzuhur, dan Ashar. "Jadi ini menunjukkan bahwa negara Islam itu tidak ada, yang ada adalah negara mayoritas Islam, yakni Indonesia," tutupnya.
Wanita Sebagai Tiang Negara
Dalam hadis nabi bersabda :
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ:
هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ
الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami
bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi shallallahu alaihi
wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan
sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata:
“Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau
bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena
sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”
Dalam sebuah hadist Rosulullah saw menyatakan bahwa
الْمَرْأَةُ عِمَادُ الْبِلاَدِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَتِ الْبِلاَدُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَتِ الْبِلاَدُ
النساء عِمَادُ الْبِلاَدِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَتِ الْبِلاَدُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَتِ الْبِلاَدُ
Wanita adalah tiang suatu negara, apabila wanitanya baik maka negara
akan baik dan apabila wanita rusak maka negarakapun akan rusak
Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum wanita, bila
didalam masyarakat pra Islam memandang kaum wanita adalah sebagai suatu
barang yang tidak ada nilainya, sehingga kaum wanita boleh diperlakukan
apa saja tergantung dari kaum pria. Hal ini nampak jelas bahwa sebelum
nabi Muhammad lahir masyarakat Arab akan mengubur hidup-hidup setiap
bayi perempuan yang lahir hal ini karena dipandang wanita tidak dapat
membantu perang.
Negara-negara didunia memandang kaum wanita
dalam bentuk yang berbeda-beda, seperti di Inggis berarti behind every
successful man there is always a women, di Amerika istri yang dalam
bahasa Inggris adalah wife namun diartikan washing, ironing, fun,
entertainment, di Jawa sebagaimana dikatakan oleh budayawan Semarang
Darmanto Jatman Asah-asah, umbah-umbah, lumah-lumah. Dan dikalangan
masyarakat Jawa masih banyak istilah yang lain masak macak manak atau
dapur sewur dan kasur.
Penghargaan Islam terhadap kaum wanita sebagaimana tersebut dalam hadits nabi:
اَلْمَرْأَةُ عِمَادُ الْبِلَادِ اِذَاصَلُحَتْ صَلُحَ الْبِلَادُ وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَ الْبِلَادُ (حديث)
“ Wanita adalah tiang negara jika wanitanya baik maka baiklah negara, dan bila wanita buruk maka negara juga ikut buruk”.
Karena itu wanita yang paling berperan didalam kehidupan rumah tangga,
karena dalam diri wanita mempunyai peran ganda dalam kehidupan rumah
tangga, yaitu mengandung, melahirkan, mendidik, mengasuh dan
membesarkan. Sehingga kedekatan seorang anak akan lebih dominan kepada
seorang ibu, setiap perbuatan inipun akan dimintai pertanggungan jawab
oleh Allah SWT.
Kedudukan kaum wanita:
1. Sebagai pendamping suami:
وَالْمَرْئَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِىَ مَسْؤُلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“ Dan istri adalah pengatur dalam rumah tangga suaminya, dan dia bertanggung jawab atas pengaturannya”. (HR. Buchari Muslim)
اِذَا صَلَتِ الْمَرْئَةُ خَمْسَهَا وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا وَاَطَاعَتْ
بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ اَيِّ اَبْوَابِ الْجَنَّةَ شَاءَتْ (رواه ابن
حبان)
“ Apabila wanita itu melakukan shalat lima waktu dan bisa
menjaga kehormatan dirinya serta taat kepada suaminya. Maka dia dapat
memasuki surga dari segala penjuru pintunya yang ia sukai”.
2. Sebagai ibu- penerus keturunan.
“ Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan
teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa
berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya
berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh,
tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur". (QS. Al A’rof: 189)
اَلْجَنَّةُ تَحْتَ اَقْدَمِ الْاُمَّهَاتِ (رواه مسلم)
“ Surga dibawah telapak kaki ibu”.
Dengan demikian Allah memberikan keutamaan ibu diatas ayah,
sebagaimana sabda ketika suatu saat sahabat bertanya kepada rasul
tentang kepada siapa yang lebih utama untuk berbuat baik:
يَا
رَسُولَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ؟ قَالَ:
أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ:
أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ
“Wahai
Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kupergauli(dekati)
dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya,
“Kemudian siapa?” “Ibumu”, jawab beliau. “Kemudian siapa?”, tanya
laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau. “Kemudian siapa?” tanyanya lagi.
“Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari Muslim)
Kisah wanita teladan
Rasulullah pernah memerintah kepada putrinya yang bernama Fatimah: Hai
anakku,, apabila kamu ingin belajar menjadi ibu dan istri yang baik,
datanglah kepada seorang ibu yang bernama Muthi’ah, tinggal di luar kota
Madinah sebelah sana. Maka berangkatlah Fatimah yang disertai oleh
putranya Hasan, sesampai dirumahnya, lalu mengucapkan salam dan mengetuk
pintu. Pada waktu itu ibu Muthi’ah sedang sendirian dirumah, karena
suaminya sedang bekerja, karena sedang sendirian maka Hasan tidak
diperkenankan masuk dan disuruh menunggi diluar, menurut hadits nabi
bahwa ketika isteri sedang sendirian dirumah, tidak boleh menerima tamu
laki-laki.
Setelah Fatimah masuk dan dipersilahkan duduk maka,
mengutarakan maksud kedatangannya yang disuruh oleh Rasulullah untuk
belajar tentang kewanitaan. Ibu Muthi’ah heran dan tidak tahu hal apa
yang harus disampaikan kepada isterinya, demikian pula Fatimah juiga
heran karena yang dilihat tidak ada barang-barang yang istimewa. Siti
Fatimah memperhatikan ruangan sekitar yang kemudian yang berhenti pada
susut rungan yang terdapat tiga buah benda yang senantiasa terawatt
dengan rapi. Ketiga benda itu adalah baskom yang berisi air bersih nan
jernih, sebuah handuk kecil dan sebatang rotan, Fatimah merasa heran dan
kemudian menanyakan ketiga benda itu. Fatimah heran dan menyakan
kepadanya.
Ibu Muthi’ah menjelaskan, apabila suaminya pulang
tentunya dengan muka yang kotor kena debu, kusut, penat dan letih.
Dengan demikian maka aku membisakan mengelap muka dan badannya, agar
terlihat bersih dan segar. Setelah itu dengan handuk saya keringkan
dengan mengusap muka dan badan yang basah tadi. Fatimah faham dan
emudian menaykan sebatang rotan tersebut. Kemudian dijelaskan apabila
suami selesai dibilas muka dan badannya yang kotor lalu mandi. Setelah
itu suaminya ditemani makan dari masakan yang tealh dimasaknya sendiri.
Lalu saya berkata (kata ibu Muthi’ah) mengambil sebatang rotan rotan
tersebut dan menyerahkan kepada suaminya seraya mengatakan, agar
suaminya bersedia memukul dengan rotan tersebut bila dalam melayaniny
kurang memuaskan.
Mendengar ucapan tersebut Fatimah kaget, lalu
bertanya kembali: Apakah suaminya memukul atau tidak? Ibu Muthi’ah
menjawab: suami saya tetap mengambil rotan tersebut, tetapi
melemparkannya kesamping, lalu mendekati saya dengan penuh kasih sayang.
Mendengar penuturan tersebut, akhirnya mengertilah Fatimah, sungguh
tepat kata-kata Rasulullah yang menyuruh untuk belajar pada ibu
Muthi’ah.
Semoga bermanfaar